Jumat, 20 September 2013

Monyet dan Apel Kayunya

Suatu ketika ada seekor monyet periang yang hidup di hutan, memakan buah yang lezat ketika lapar, dan istirahat ketika letih. Suatu hari dia sampai ke sebuah rumah, di sana dia melihat satu mangkuk apel yang paling indah. Dia mengambil satu apel di masing-masing tangannya dan kembali lari masuk hutan.
Dia menciumi apel itu tapi tidak mencium bau apapun. Dia mencoba memakannya tapi malah membuat giginya ngilu. Apel itu ternyata terbuat dari kayu, tapi nampak demikian indah, dan ketika monyet-monyet lain ingin melihatnya, dia malah memegangnya dengan semakin erat.
Dia begitu mengagumi apa yang baru dimilikinya dan dengan bangga membawa-bawanya sambil berkelana dalam hutan. Apel itu nampak berkilau kemerahan di bawah sinar matahari, dan nampak sempurna baginya. Dia menjadi begitu tergantung padanya, sampaisampai pada awalnya bahkan dia tidak sadar kalau dia sedang lapar.
Sebatang pohon buah mengingatkannya, tetapi dia merasakan sentuhan halus apel di tangannya, dia tidak mau melepaskan pegangan pada apel kayu itu agar dia dapat meraih buah untuk di makannya. Pendeknya, dia tidak bisa rileks, karena harus terus melindungi apel kayunya itu. Seekor monyet yang penuh kebanggaan tapi tidak bahagia itu terus berkelana di dalam hutan.
Apel-apel kayu itu terasa semakin berat, dan monyet kecil yang malang itu mulai berpikir untuk meninggalkannya. Dia merasa lelah, lapar, dan tidak bisa memanjat pohon atau memetik buah dengan tangannya yang tidak bebas. Bagaimana kalau dia melepaskannya saja?
Melepaskan diri dari hal yang demikian berharga nampaknya tidak mungkin, tapi apa lagi yang dapat dilakukannya? Dia sudah demikian letih dan lapar. Melihat pohon buah-buahan berikutnya, dan mencium nikmatnya bau buah itu, ah cukup…. Dia menjatuhkan apel kayunya dan meraih makanannya. Dan dia menjadi bahagia lagi.
.
Melepaskan apel kayu
Sama seperti monyet kecil itu, kadang-kadang kita membawa-bawa hal yang nampaknya demikian berharga untuk kita tinggalkan. Seorang pria membawa-bawa gambaran tentang dirinya sebagai “orang yang produktif” dan membawa-bawanya seperti apel kayu yang berkilat itu. Namun pada kenyataannya, kesibukannya itu membuatnya letih, dan haus akan kehidupan yang lebih baik. Tetapi tetap saja, melepaskannya sungguh sebuah tindakan yang menyesakkan. Bahkan kekhawatirannya juga diperlakukannya seperti apel yang keramat, untuk memberi bukti bahwa dia “melakukan apa saja yang bisa.” Dia terus mempertahankannya dengan paksa.
Ini adalah hal berat untuk disaksikan, kita dengan demikian kuat mengidentifikasi diri dengan milik kita, bahkan merasa demikian sedih ketika mobil kita penyok. Betapa lebih kuatnya kita mengidentifikasi diri kita dengan keyakinan dan gagasan pribadi kita? Walau mereka tidak selalu mengisi jiwa kita, bukankah demikian? Dan kita jadi letih karena terus mempertahankannya.
Cara bagaimana lagi kita bisa mengakhiri kisah ini? Mungkin monyet itu ditemukan telah mati kelaparan, di bawah sebatang pohon yang indah, dengan buah ranum dalam jangkauan, sambil tetap memegang erat apel kayunya.
Tetapi saya memilih mengakhiri kisah ini dengan kepasrahan monyet itu, yang mau melepaskan apel kayu dari genggamannya, karena hanya dengan tangan terbuka kita bisa menerima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar