Kamis, 30 Desember 2010

Mereka Saudara Kita

Mereka jarang tersenyum bukan karena mereka enggan untuk tersenyum. Tapi hidup dan waktu seolah menuntut mereka untuk menghabiskan sebagian besar kehidupan untuk bekerja keras sehingga terkadang mereka lupa bahwa ada waktu untuk tersenyum. Seolah dunia begitu keras menuntut mereka hingga mereka lupa untuk tertawa. Lihatlah teman….bahkan mereka tidak punya waktu untuk tersenyum. Apa mereka lupa cara tersenyum? Atau karena mereka tak pernah menerima senyuman, makanya mereka tak tahu lagi bagaimana caranya tersenyum?
Terkadang aku melihat dunia memang terlalu keras pada mereka. Bukan dunia sebagai objek, tapi dunia dengan manusianya. Bagaimana jika sesekali kita tidak menghabiskan waktu di tempat-tempat yang indah? Kenapa kita tak meluangkan waktu sejenak untuk memperhatikan mereka? Jika tak mau atau tak mampu membantu mereka dengan materi, tidak ada salahnya juga kita menghargai mereka dengan sebuah senyuman ikhlas dari wajah kita. Bukankah mereka juga saudara kita???
Teman,,, andai kita punya waktu untuk memperhatikan kehidupan mereka yang begitu sederhana. Maka kita akan menemukan kehidupan yang begitu indah. Di sana kita sadar betapa lebih beruntungnya kita….
Teman… tidak ada salahnya sesekali kita berjalan kaki sendirian di tengah keramaian sambil memperhatikan lingkungan kita. Cobalah luangkan waktu sedikit saja untuk itu. Sekali lagi, jika tak dapat memberi pada mereka, paling tidak kita bisa sadar dan lebih memahami lagi hidup kita.
Aku bangga pada mereka. Mereka hebat. Dengan kehidupan yang begitu keras, mereka tetap bisa menjalaninya. Meski tak tahu dengan apa hidup ini akan dilanjutkan esok hari dan dengan apa perut mereka akan diisi, mereka tetap menanti datangnya mentari pagi. Mereka bilang kalau mereka percaya bahwa selama mereka masih hidup, maka rezeki dari Allah akan tetap ada untuk mereka,rezeki akan tetap ada selama mereka masih percaya dan mau berusaha serta berdo’a.
Mereka dengan kesederhaannya selalu bahagia dan bersyukur ketika mendapatkan sejumlah uang. Jika orang kaya yang menerima uang sejumlah itu, mungkin mereka menganggap uang itu tak berarti apa-apa. Tapi mereka tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca ketika mendapatkannya. Mengapa harus ada perbedaan seperti itu?
Jika si miskin datang ke rumah si kaya, sangat jarang atau bahkan tak akan ada sambutan hangat bagi mereka. Tapi, ketika si kaya yang datang ke rumah si miskin, maka si miskin terlihat begitu menghargai. Seolah mereka didatangi oleh tamu agung di rumahnya. Sekali lagi, mengapa harus ada perbedaan seperti itu?
Jika suatu ketika si miskin dengan pakaiannya yang tampak lusuh dan kotor terjatuh, maka si kaya tak akan menghiraukan karena mungkin bagi mereka tidak akan menimbulkan manfaat apa-apa bagi dirinya. Yang ada paling hanya akan mengotori pakaiannya, mungkin itulah yang ada di fikirannya. Tapi, si miskin masih tetap berbeda dengan si kaya. Ketika keadaan berbalik, maka si miskin akan tetap membantu. Si miskin begitu penghiba. Hati mereka begitu lembut, sehingga tak mampu membiarkan orang lain dalam kesusahan karena mereka tahu bagaimana rasanya kesusahan itu.
Ya Rabb….saudara-saudaraku itu mungkin di dunia tidak seberuntung yang lainnya. Mereka tidak dapat memiliki apa-apa yang mereka impikan. Tapi semoga mereka tetap bahagia dan penuh rasa syukur pada_Mu Rabb..
Ya Rabb…. Sayangi saudara-saudaraku itu. Jangan biarkan mereka jauh dari_Mu. Ingatkan mereka selalu bahwa ada Engkau yang tetap menyayangi dan menjaga mereka. Dan berikanlah selalu semangat bagi mereka.
Ya Rabb… Berikan hati yang lembut pada mereka. Jangan biarkan kerasnya perlakuan yang mereka dapat menjadikan hati mereka ikut keras. Tapi jadikan kekerasan yang mereka terima itu sebagai bahan untuk lebih membuat hati mereka jernih melihat segala sesuatu.
Ya Rabb…Jangan biarkan rasa rendah diri melekat pada diri mereka akibat cemooh yang mereka terima. Tapi biarkan rasa rendah hati bersemayam pada diri mereka. Jagalah mereka agar tetap yakin akan kuasa_Mu dan agar mereka tetap beribadah kepada_Mu sehingga mereka dapat bertemu dengan kebahagiaan yang hakiki bersama_Mu.
Mungkin benar bahwa aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya seorang anak yang bahkan sampai saat ini masih bergantung pada orang tuaku. Lalu apa yang dapat aku lakukan??? Ya…kalian boleh mengatakan bahwa aku tak bisa apa-apa.
Tapi mereka tetap saudaraku. Dan sekarang, aku hanya bisa berdo’a untuk mereka semua, di manapun mereka berada. Meski tak tahu apa-apa tentang mereka, yang jelas, satu hal yang sangat aku tahu bahwa MEREKA ADALAH SAUDARAKU……

Maaf jika terlintas pemikiran bahwa tampaknya aku terlihat lebih berpihak pada si miskin. Tapi, jujur, bagaimana pun juga aku memang lebih menyayangi si miskin. Namun, bukan berarti pula aku membenci si kaya karena aku juga tahu bahwa Allah tidak pernah membenci seseorang karena dia kaya atau miskin. Hanya saja, tulisan ini ku buat ketika aku melihat apa yang ku ceritakan saat ini. Dan bukan berarti hal ini harus terjadi selamanya.
Yang jelas, aku sangat berharap, kaya atau miskinkah, yang terpenting adalah bagaimana kita menghargai amanah yang diberikan kepada kita…



Menciptakan Pola Pikir

Ketika teman saya sedang melewati gajah, ia tiba-tiba berhenti, bingung dengan  makhluk-makhluk besar yang diikat oleh tali kecil pada kaki depan mereka. Gajah tidak rantai, juga tidak dikandang. Sudah jelas gajah bisa melepaskan diri kapan saja dari tali yang mengikat gajah tersebut. Teman saya bertanya ke pelatih yang ada didekatnya, kenapa hewan-hewan besar (gajah) itu tidak berusaha melarikan diri, padahal itu adalah sangat mudah untuk gajahlakukan.
“Yah,” kata pelatih gajah, “ketika gajah-gajah itu masih sangat muda dan jauh lebih kecil, kami mengikat gajah tersebut menggunakan tali ukuran kecil yang pada usia saat itu cukup untuk menahan gajah tersebut. Ketika gajah-gajah itu tumbuh, gajah-gajah itu dikondisikan untuk percaya bahwa gajahtersebut tidak dapat melepaskan diri dari ikatan itu. Gajah itu percaya bahwa tali yang kecil itu masih bisa menahan mereka, sehingga gajah-gajah tersebut tidak pernah mencoba membebaskan diri.
Teman saya kagum. Gajah ini bisa setiap saat melepaskan diri dari ikatan mereka tetapi karena mereka percaya bahwa mereka tidak bisa, mereka berdiam diri. Gajah tersebut terjebak dengan apa yang mereka percayai.
Seperti gajah, berapa banyak dari kita menjalani hidup tergantung pada keyakinan bahwa kita tidak bisa melakukan sesuatu, hanya karena kita gagal sekali sebelumnya? Kita telah tumbuh lebih dewasa, paling tidak telah bertambah usia dan pengalaman hidup. Jadi mari kita coba ulangi apa yang kita takut karenanya, bukan untuk gagal lagi, tetapi untuk menutup ketakutan dengan keberhasilan.

Gagal meyakinkan diri untuk mencoba lagi, adalah kegagalan yang sesungguhnya

Kebencian Hari Ini, Petaka Esok Hari

Sahabat, percayakah anda, sebuah dendam dan kebencian yang ditebar hari ini membuahkan celaka bagi generasi mendatang? Mari kita tengok.
Berapa sering kita mendengar banyaknya korban akibat ranjau yang ditanam saat perang puluhan tahun silam. Di Rusia, Cina, Kolombia, Kamboja, Jenewa, Irak, Afganistan,  negara-negara Afrika, dan lain-lain.
Ranjau-ranjau itu adalah sisa-sisa amarah, bekas-bekas angkara, dan jejak-jejak amuk, dan bekas-bekas kebencian. Kebencian atas penindasan dan ketidak adilan. Kebencian akan perilaku adikuasa.
Kita tak pernah tahu kapan semua itu akan tersapu bersih. Meski damai telah dijabattangankan, siapa bisa menjamin tak ada penyesalan di kemudian hari? Betapa mahalnya sebuah kebencian.
Hal ini mengajarkan pada kita untuk tidak hanya mempertimbangkan apa yang terjadi pada esok hari akibat perbuatan kita hari ini. Ketika kita membenci sesuatu, maka kebencian itu akan beranak pinak, dan akan kembali kepada kita sebesar kebencian yang kita tebarkan.
Mari tanyakan pada diri sendiri, buat apa kebencian ini? Adakah manfaatnya? Adakah akibat diesok hari buat diri kita dan anak cucu kita? Adakah jalan yang lebih baik? Karena ranjau-ranjau kebencian itu akan melukai orang yang membenci, juga orang yang dibenci. Dua-duanya sama-sama terluka.
Namun ada yang harus digaris bawahi, bahwa kebencian tidaklah sama dengan ketegasan sikap dalam menegakkan aturan dan batas-batas norma kehidupan. Kebencian lebih condong mengarah pada subjek, sedang ketegasan lebih mengacu pada perilaku dan perbuatan.
Semakin jauh kita memandang ke depan, semestinya semakin besar nilai perbuatan kita hari ini bagi kemanusiaan.  Semakin berhati-hati dalam menentukan langkah dalam bertindak.
Salam..



Menyikapi Masalah

Dalam mengarungi kehidupan ini, adakalanya kita dihadapkan pada badai kehidupan. Ada hal yang dapat kita ambil pelajaran dari seekor elang.
Elang mampu terbang tinggi dengan melewati angin yang kencang dan badai menerpanya.  Apakah sahabat tau apa yang dilakukan elang saat badai menghampirinya? Ada hal yang menarik disini yang dapat kita pelajari.
Elang akan terbang ke tempat yang tinggi dan menunggu angin dan badai sambil membuka lebar-lebar sayapnya. Ketika badai datang, maka angin akan mengambil dan mengangkat tubuh elang ke atas badai. Sementara badai mengamuk di bawah, elang ini melonjak di atasnya.
Elang tidak luput badai. Ini adalah cara sederhana untuk memanfaatkan badai untuk mengangkat tubuhnya lebih tinggi. Elang terbang tinggi bersama angin yang membawa badai.
Ketika badai kehidupan datang kepada kita – dan kita semua akan mengalami
seperti yang elang alami – kita dapat naik di masalah dengan menetapkan pikiran kita dan keyakinan kita bahwa kita akan melewati masalah itu. Badai tidak harus kita atasi. Tapi kita punya pilihan untuk memanfaatkan  masalah untuk meningkatkan kualitas kita.
Masalah bukanlah beban yang memberatkan kehidupan kita, namun ini adalah pelajaran dan pendidikan dari Allah, ini adalah cara untuk menaikkan kualitas kita. dan pelajaran  bagaimana menangani masalah dengan berbekal keyakinan dan kemantapan hati. Bukan dengan keputusasaan dan ketakutan.  Tidaklah masalah  menimpa suatu kaum, melebihi kemampuan kaum itu.


Saat masalah itu datang, lebarkan hati dan katakan, selamat datang masalah.



“Menggenggam Burung”

Di sebuah daerah, ada seorang tua terkenal sangat bijak dan mempunyai kemampuan bisa “membaca” apa yang sedang dialami oleh orang lain yang bertemu dengannya. Seorang anak muda penasaran sekali akan kemampuan orang tua yang terkenal bijak dan “berkemampuan” ini. Ia ingin mengetes kemampuan orang tua bijak ini. Ia membawa seekor burung di tangannya dan menggenggam burung itu.

“Ahh..saya ingin mengetes apa betul kemampuan bapak tua yang terkenal ini. Saya ingin menanyakan apakah burung yang saya bawa ini hidup atau mati kepada bapak tua ini. Kalau bapak tua itu menjawab bahwa burung yang saya bawa ini hidup, maka saya akan segera meremas burung itu hingga mati dalam genggaman saya. Apabila ia menjawab burung itu mati, saya akan segera melepaskan genggaman sehingga burung itu bisa terbang,”gumam pemuda ini sambil berjalan ke arah rumah orang tua bijak itu dengan menggenggam seekor burung dalam genggamannya yang dia sembunyikan di balik punggungnya.
“Wahai bapak tua. Saya sudah lama mendengar  tentang bapak dan keahlian bapak. Saya sekarang membawa seekor burung dalam genggaman saya. Nah, kalau bapak betul-betul hebat seperti yang diceritakan oleh banyak orang, coba bapak tebak apakah burung yang saya bawa ini mati atau hidup? Kalau betul, saya mengangkat guru pada bapak” tanya anak muda ini.
Si orang tua bijak melihat dan memandangi sebentar anak muda ini yang menyembunyikan genggaman tangan di balik punggungnya.
“Wahai anak muda, burung yang kamu bawa itu, mati atau hidup tergantung dalam genggamanmu. Sama seperti sukses dirimu, semua dalam genggamanmu,”jawab singkat bapak tua ini sambil berlalu.
si pemuda ini pun menyadari.
Sukses atau tidak tergantung pada diri kita sendiri. Ada dalam genggaman kita sendiri.
Untuk mewujudkan sukses, milikilah “genggamannya” : berpikirlah sukses dan lakukan langkah-langkah sukses….
Apa saja langkah sukses yang sudah anda ambil untuk mewujudkan kesuksessan anda???