Senin, 04 November 2013

Ketelitian

Di sebuah ruang kuliah, seorang profesor kedokteran memberikan kuliah perdananya. Para mahasiswa baru itu tampak serius. Mata mereka terpaku menatap profesor, seraya tangan sibuk mencatat.


“Menjadi dokter, butuh keberanian dan ketelitian,” terdengar suara sang profesor. “Dan saya harap kalian dapat membuktikannya.” Bapak itu beranjak ke samping. “Saya punya setoples cairan limpa manusia yang telah direndam selama 3 bulan.” Profesor itu mencelupkan jari ke dalam toples, dan memasukkan jari itu ke mulutnya. Terdengar teriak-teriak kecil dari mahasiswa itu. Mereka terlihat jijik. “Itulah yang kusebut dengan keberanian dan ketelitian,” ucap profesor lebih meyakinkan.
“Saya butuh satu orang yang bisa berbuat seperti saya. Buktikan bahwa kalian ingin menjadi dokter.” Suasana aula mendadak senyap. Mereka bingung: antara jijik dan tantangan sebagai calon dokter. Tak ada yang mengangkat tangan. Sang profesor berkata lagi, “Tak adakah yang bisa membuktikan kepada saya? Mana keberanian dan ketelitian kalian?

Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. “Ah, akhirnya ada juga yang berani. Tunjukkan pada teman-temanmu bahwa kau punya keberanian dan ketelitian.รข€ Anak muda itu menuruni tangga, menuju mimbar tempat sang professor berada. Dihampirinya stoples itu dengan ragu-ragu. Wajahnya tegang, dan perasaan jijik terlihat dari air mukanya.
Ia mulai memasukkan jarinya ke dalam toples. Kepala menoleh ke samping dengan mata yang menutup. Teriakan kecil rasa jijik kembali terdengar. Perlahan, dimasukkannya jari yang telah tercelup lendir itu ke mulutnya. Banyak orang yang menutup mata, banyak pula yang berlari menuju kamar kecil. Sang professor tersenyum. Anak muda itu tersenyum kecut, sambil meludah-ludah ke samping.

“Aha, kamu telah membuktikan satu hal, anak muda. Seorang calon dokter memang harus berani. Tapi sayang, dokter juga butuh ketelitian.” Profesor itu menepuk punggung si mahasiswa. “Tidakkah kau lihat, aku tadi memasukkan telunjuk ke toples, tapi jari tengah yang masuk ke mulut. Seorang dokter memang butuh keberanian, tapi lebih butuh lagi ketelitian.”
***

Tantangan hidup, kadangkala bukan untuk menghadapi kematian. Tapi, justru bagaimana menjalani kehidupan. Banyak orang yang takut mati. Tapi, tidak sedikit yang memilih mati ketimbang hidup. Banyak yang menghabisi hidup pada jalan-jalan tercela. Banyak pula yang enggan hidup hanya karena beratnya beban kehidupan.

Ujaran profesor itu memang benar. Tantangan menjadi seorang dokter-dan sesungguhnya, menjadi manusia-adalah dibutuhkannya keberanian dan ketelitian.
Bahkan, tantangan itu lebih dari sekadar mencicipi rasa cairan limpa di toples. Lebih berat. Jauh lebih berat. Dalam kehidupan, apa yang kita alami kadang lebih pahit dan menegangkan. Namun, bagi yang teliti, semua bisa jadi manis, menjadi tantangan yang mengasyikkan. Di sanalah ditemukan semua rasa, rupa dan suasana yang mendidik. Dan mereka dapat dengan teliti memilah dan memilih.

Teman, hati-hatilah. Hidup memang butuh keberanian. Tapi, akan lebih butuh ketelitian. Cermati langkahmu, waspadai tindakanmu. Hati-hati saat “mencelupkan jari” dalam toples kehidupan. Kalau tidak, “rasa pahit” yang akan kita temukan.

Terima kasih telah membaca. Hope you are well and please do take care
Wassalamualaikum wr wb

PUISI BAU KENTUT!



Seorang cendekiawan, Zhou Zi, yang telah mempelajari konsep Buddhisme dari gurunya, seorang Mahabhikshu Zen, pada suatu hari membuat suatu puisi yang menurutnya merupakan pencerminan keadaan batinnya yang tenang, tentram dan bahagia. Dalam puisinya tersebut, dilukiskan bagaimana dia telah mencapai keadaan batin yang damai, kokoh, tidak terpengaruh oleh bahkan delapan mata angin sekalipun.

Sungguh bangga sekali Zhou Zi akan puisi barunya tersebut, sehingga dia berniat untuk mengirimkan kepada gurunya yang tinggal di seberang sungai, dengan harapan akan memperoleh pujian. Zhou Zi segera mengirimkan kurir untuk menyampaikan puisinya tersebut, yang diberi judul "Hati yang Tiada Tergoyahkan". Setelah gurunya menerima kiriman puisi tersebut dan membacanya, dimana oleh kurir cendekiawan dimintakan agar gurunya dapat menuliskan kesannya, maka beliau menuliskan sesuatu di balik kertas puisi tersebut dan diserahkannya kembali melalui kurir.

Zhou Zi menunggu kedatangan kurirnya untuk membaca pujian yang disampaikan oleh gurunya, dan segera dibuka sampul berisi kertas puisinya. Betapa marahnya Zhou Zi menemukan tulisan gurunya berupa tinta merah dengan tiga huruf besar, "PUISI BAU KENTUT". Sungguh geram Zhou Zi, dia menilai gurunya benar-benar tidak mengerti ungkapan yang mendalam dari dia akan konsep Buddhisme tentang keseimbangan batinnya. Zhou Zi memutuskan untuk segera ke seberang sungai menemui gurunya.

Sesampainya di tempat gurunya, Zhou Zi menanyakan dengan emosi yang ditahan, "Kenapa suhu mencela puisi saya, apakah suhu tidak bisa menangkap arti kiasan yang begitu mendalam dari puisi ini?"

Mahabhikshu Zen tersebut tertawa dan berkata; "Ha...ha....ha..., lihatlah dirimu sendiri muridku, baru terkena satu angin kentut saja, Anda sudah terbirit-birit ke sini..., apalagi kalau diterpa delapan mata angin sekaligus!" (satu angin yang dimaksud oleh Mahabhikshu Zen tersebut adalah keadaan batin yang dicela).


Sang Buddha bersabda:


"Mereka yang telah memotong semua kemelekatannya
dan telah mengatasi gejolak batinnya,
akan tenang, tentram dan bahagia,
karena dia telah mencapai keadaan batin yang damai."
(Samyutta Nikaya I, 212).

SURGA DAN NERAKA



Seorang biksu junior mendatangi gurunya. Katanya, 'guru, aku masih tidak mengerti. Dalam kitab banyak disebutkan mengenai 'surga' dan 'neraka'. Sebenarnya surga dan neraka itu ada atau tidak? Bagaimana bentuknya surga dan neraka itu?'

Sang guru menyuruhnya mengambil ember dan mengisinya dengan air sungai sampai penuh. Si biksu junior melakukan permintaan gurunya dengan penuh tanda tanya. Lalu si biksu junior kembali ke hadapan gurunya sambil menjinjing ember penuh air. 'Letakkan disitu', kata sang guru. 'Untuk apa ember air ini guru?', tanya si biksu lagi.

Kata sang guru, 'bukankah kau ingin tahu seperti apa surga dan neraka itu?'. 'Benar guru', jawab si biksu. 'Nah, kau akan menemukan surga dan neraka dalam ember air itu', jawab sang guru. Si murid yang penasaran berjongkok di depan ember, dan melihat dari dekat permukaan airnya. Tiba-tiba sang guru menenggelamkan kepala si biksu kecil ke dalam ember tersebut. Si biksu kecil meronta2 karena tidak bisa bernapas. Beberapa saat kemudian baru sang guru melepaskan kepala si biksu junior.

'Apa yang guru lakukan? Rasanya menderita sekali tenggelam dalam air itu dan tidak bisa bernapas', teriak si biksu. 'Lalu bagaimana keadaanmu sekarang?', tanya sang guru. Si biksu junior tertawa, dan berkata, 'sekarang rasanya lega sekali bisa bernapas kembali'. Kata sang guru, 'nah dalam waktu sekejap kau sudah mengelilingi surga dan neraka. Apa kau masih meragukan keberadaannya?'

Moral: Perbedaan 'surga' dan 'neraka' sangatlah tipis. Apabila kita melihat dunia ini dari sisi positifnya, dan menikmati segala proses kehidupan kita dengan hati lapang dan senantiasa bersyukur, kehidupan ini terasa indah, nyaman dan damai, seolah di surga. Sebaliknya, kalau kita melihat dunia ini dari segala segi negatifnya, selalu menyalahkan orang lain atau keadaan, dan selalu mencari alasan dari segala permasalahan dan kegagalan kita, kehidupan kita akan penuh dengan keluhan, kesedihan, dan kesengsaraan. Masa depan kita terlihat begitu suram. Bukankah rasanya seperti hidup di neraka?

Belajar Zen harus memahami esensinya

Di sebuah monastery Zen terdapat seorang master Zen dan seorang muridnya.  Untuk mengajarkan kesunyataan, maka di depan murid, sang Guru mengangkat patung Buddha dari keramik dan kemudian menjatuhkannya hingga pecah.  Murid terbengong sejenak dan kemudian merasa tercerahkan.   Setelah peristiwa itu, si murid mohon diri untuk turun gunung. Sang Guru sedih dan hendak menahannya, tapi si murid bersikeras. Tak lama kemudian, sang guru meninggal dan ada peristiwa2 yang menunjukkan bahwa beliau telah menjadi Bodhisattva.   Si murid mengajarkan hal itu kepada masyarakat desa di kaki gunung. Setiap ia menemukan pemilik rumah memiliki patung Buddha ia selalu membanting dan memecahkannya. Demikianlah seterusnya, penduduk2 desa itu mengajar ke desa-desa lain dimana orang2 semuanya mulai membanting dan memecahkan patung Buddha. Mereka berkata : patung is patung, buang ketahayulan!   Sampai suatu ketika terjadi gempa bumi dahsyat dan semua dari mereka mati. Ternyata si murid dan mereka semua terlahir di neraka.  

Koan : Perbuatan yang sama, tapi terlahir di tempat yang berbeda. Mengapa???  
Hints:  - Belajar Zen harus memahami esensinya, bukan sekedar meniru penampilan luarnya belaka.  - Apa yang nampak diluarnya mungkin sama, tapi proses dalam batin adalah tanggung jawab masing2 pribadi.  - Belajar memutuskan kemelekatan janganlah menjadi sebuah kemelekatan baru.

Ini pun akan berlalu



Seorang petani kaya mati meninggalkan kedua putranya. Sepeninggal ayahnya, kedua putra ini hidup bersama dalam satu rumah. Sampai suatu hari mereka bertengkar dan memutuskan untuk berpisah dan membagi dua harta warisan ayahnya. Setelah harta terbagi, masih tertingal satu kotak yang selama ini disembunyikan oleh ayah mereka.

Mereka membuka kotak itu dan menemukan dua buah cincin di dalamnya, yang satu terbuat dari emas bertahtakan berlian dan yang satu terbuat dari perunggu murah. Melihat cincin berlian itu, timbullah keserakahan sang kakak, dia menjelaskan, “Kurasa cincin ini bukan milik ayah, namun warisan turun-temurun dari nenek moyang kita. Oleh karena itu, kita harus menjaganya untuk anak-cucu kita. Sebagai saudara tua, aku akan menyimpan yang emas dan kamu simpan yang perunggu.”

Sang adik tersenyum dan berkata, “Baiklah, ambil saja yang emas, aku ambil yang perunggu.” Keduanya mengenakan cincin tersebut di jari masing-masing dan berpisah. Sang adik merenung, “Tidak aneh kalau ayah menyimpan cincin berlian yang mahal itu, tetapi kenapa ayah menyimpan cincin perunggu murahan ini?” Dia mencermati cincinnya dan menemukan sebuah kalimat terukir di cincin itu: INI PUN AKAN BERLALU. “Oh, rupanya ini mantra ayah…,” gumamnya sembari kembali mengenakan cincin tersebut.
Kakak-beradik tersebut mengalami jatuh-bangunnya kehidupan. Ketika panen berhasil, sang kakak berpesta-pora, bermabuk-mabukan, lupa daratan. Ketika panen gagal, dia menderita tekanan batin, tekanan darah tinggi, hutang sana-sini. Demikian terjadi dari waktu ke waktu, sampai akhirnya dia kehilangan keseimbangan batinnya, sulit tidur, dan mulai memakai obat-obatan penenang. Akhirnya dia terpaksa menjual cincin berliannya untuk membeli obat-obatan yang membuatnya ketagihan.

Sementara itu, ketika panen berhasil sang adik mensyukurinya, tetapi dia teringatkan oleh cincinnya: INI PUN AKAN BERLALU. Jadi dia pun tidak menjadi sombong dan lupa daratan. Ketika panen gagal, dia juga ingat bahwa: INI PUN AKAN BERLALU, jadi ia pun tidak larut dalam kesedihan. Hidupnya tetap saja naik-turun, kadang berhasil, kadang gagal dalam segala hal, namun dia tahu bahwa tiada yang kekal adanya. Semua yang datang, hanya akan berlalu. Dia tidak pernah kehilangan keseimbangan batinnya, dia hidup tenteram, hidup seimbang, hidup bahagia.

inilah hidup sebagai manusia seperti rumput di padang yang mati dan berganti setiap waktu. Relasi bisa datang dan pergi tanpa pernah bisa berhenti. Kemanusiaan yang terbatasi oleh banyak hal. semuanya pasti akan berlalu. ada waktu untuk mencintai. ada waktunya.

Kisah Lalat dan Semut


Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta di atas sebuah tong sampah di depan sebuah rumah. Suatu ketika, anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah. Kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat. 

"Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar," katanya. 

Setelah kenyang, si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca.

Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik, demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang, si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan.

Esok paginya, nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai. Tak jauh dari tempat itu, nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan, seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua, "Ada apa dengan lalat ini, Pak? Mengapa dia sekarat?"

"Oh.., itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini. Sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu. Namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita."

Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi, "Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? Kenapa tidak berhasil?"

Masih sambil berjalan dan memanggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab, "Lalat itu adalah seorang yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama."

Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya, namun kali ini dengan mimik dan nada lebih serius, "Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama tapi mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini."

"Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda."