Rabu, 06 November 2013

Manunggaling Kawulo Lan Gusti dengan pendekatan Fisika Quantum



Sejak kecil saya sangat tertarik tentang Tuhan,,, Dimana DIA berada? Seperti apa? Dan sebagainya,,, Seiring waktu saya terus mendapatkan jawaban. Jawabannya bervariasi dan banyak versi. Namun seiring waktu pula jawaban-jawaban tersebut bukan hanya bervariasi tapi juga berubah,,,,

Ternyata bukan hanya itu. Pertanyaannya semakin banyak dan kadang semakin pusing sendiri,,,, Karena ketika saya tanyakan kepada orang lain mereka juga tidak tahu malah jadi ikut-ikutan mumet,,, Bahkan pernah suatu ketika saya dibilang “kebablasan”,,, Tidak usah ngomongin Tuhan!,,, Nah lo, lha saya ini menyembah Tuhan ya harus tahu tho, siapa yang saya sembah?

Kala malam ketika saya menatap langit dipenuhi bintang dan sambil membayangkan betapa luasnya jadag raya ini saya semakin bingung, mengapa saya di sini? Untuk apa? Nanti kemana? Pamungkasnya ada pertanyaan TUHAN ITU DIMANA? Sebenarnya kalau dari dogma-dogma ajaran agama sudah terjawab. Tapi saya merasa ada pesan yang belum terungkapkan dibalik dogma-dogma tersebut. Saya terus menelusurinya,,, baik ke luar diri maupun ke dalam diri.

Kali ini saya memberanikan diri untuk menuliskan dan membagikan pemahaman saya tentang Tuhan ke dalam note ini,,, Dan saya beri judul MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI atau bila diterjemahkan KEBERSATUAN MAKHLUK DENGAN TUHAN.

Saya memahami sekali resiko ketika tulisan ini di buat, lha belum saya tulis aja beberapa waktu lalu udah ada yang bilang saya sesat,,,, Padahal orang tersebut belum tahu apa sih sebenarnya yang saya tulis ,,, Don’t judge the book by it’s cover,,, Karena saya juga sengaja menuliskan judul tersebut agar lebih menarik,,, Dan sekalian menuntaskan janji. Terus terang ada beberapa sms dan pesan di inbox FB saya yang menanyakan tema yang saya jadikan judul note ini. Saya udah janji akan saya tulis topik soal ini di FB. Bagi teman-teman yang menyimak note ini, ikuti keseluruhan tulisannya baru silahkan menyimpulkan,,,, Oke

Mari kita mulai masuk pada pembahasannya,,,

Ketika membaca kalimat MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI maka biasanya akan memunculkan satu nama di dalam pikiran kita yaitu,,, SYECH SITI JENAR. Syech Siti Jenar atau Syech Lemah Abang dalam legenda Wali Sanga dikenal sebagai penyebar agama islam yang kontroversial ajarannya. Syech Siti Jenar dilabeli SESAT! Karena ia dituduh telah mengaku sebagai ALLAH,,, Ia dituduh mengaku sebagai TUHAN !

Namun apakah benar demikian?,
Tunggu dulu ,,, Sesungguhnya pemahamannya tidak seperti itu,,, Sebenarnya kalau begitu kita-kita pun tanpa sadar telah mengaku sebagai ALLAH / Tuhan Lho?! ,,,Ya!
Malah kita ini bisa jadi lebih “sesat” dibandingkan Syech Siti Jenar yang dilabeli sesat.
Mau bukti?

Berdasarkan cerita, sebuah moment yang menjadikan Syech Siti Jenar disebut wali sesat adalah ketika utusan dari kesultanan Demak mengundang Syech Siti Jenar untuk “diinterogasi” mengenai ajaran-ajarannya yang “nyeleneh” kepada para santrinya. Namun ketika dipanggil dari luar ruangan ada suara yang menjawab dari tubuh Syech Siti Jenar yang kalimatnya : “Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah”,,, Saya dulu pun ketika masih SMP-SMA memiliki mindset bahwa kalimat itu adalah sebuah pengakuan menyamakan diri dengan Tuhan, padahal bukan itu maksudnya. Maksudnya adalah manunggal, bukan menyamakan antara Tuhan dengan makhluk.
Saya ulangi, MANUNGGAL bukan berarti sama.

Tulisan ini bukan hanya untuk mereka yang beragama islam. Hanya saja karena saya beragama islam dan setting cerita Syech Siti Jenar adalah cerita dalam konteks islam ijinkan saya membahasnya dari sudut pandang islam. Begini saya contohkan,,, Ketika shalat, bukankah sangat bagus ketika kita menghayati setiap bacaan ayat yang kita baca bukan?
Nah sekarang bayangkan jika kita membaca surat adz dzariat ayat 56-58 yang artinya berikut ini :

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku, Aku tidak mengendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak mengendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku, Sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan Lagi Maha Sangat Kuat”.

Pada ayat tersebut bisa kita lihat dalam terjemahannya ada kata AKU,,, Nah, bila kita menghayati kalimat ini apa yang terjadi? Ya sama saja sebenarnya kita “mengaku” sebagai Tuhan.
Coba kalau kita mengatakan AKU kemana asosiasi kata itu? Ya ke diri yang mengatakan tho?

Nah, sebenarnya dalam hal ini Syech Siti Jenar lebih mulia dari kita karena saat beliau mengatakan : “Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah”, saat mengatakan itu ego atau ke-aku-an Syech Siti Jenar lenyap. Tahapan beliau sudah sangat tinggi sehingga sudah bisa melihat esensi sesungguhnya bahwa semua yang ada itu sebenarnya semu, yang MUTLAK ADA HANYA ALLAH. Yang lain itu SEMU.

Justru yang sesat ya kita ini, menyebut kata AKU yang artinya menunjuk kepada Tuhan tapi ke-aku-an kita masih ada. So siapa sebenarnya yang mengaku sebagai Tuhan?

Sekarang mari kita lihat fenomena saat Nabi Muhammad menerima dan menyampaikan wahyu. Darimana ayat-ayat Al Qur’an keluar? Kan dari lisannya dan jasad fisiknya Muhammad? Tapi mengapa kita tidak mengatakan Muhammad mengaku sebagai Allah? Ya karena saat ayat-ayat itu keluar ke-aku-an atau ego Muhammad tidak ada. Yang berbicara adalah AKU-Nya Allah. So mari kita bandingkan. Saat membaca surat Adz-dzariat di atas mana yang lebih pantas membacanya. Kita atau Syech Siti Jenar? Hanya yang benar-benar total meniadakan diri dan ke-aku-annya sajalah yang benar-benar pantas membaca ayat dalam surat tersebut. Saat kita meniadakan aku-nya kita maka yang ada adalah AKU-Nya Allah

Konsep Manunggaling Kawulo Lan Gusti memang harus dipahami dengan jernih tidak boleh menyertakan ego dan melepaskan doktrin di kepala kita. Bila tidak maka pembahasan tentang hal ini hanya semakin mempertebal RASA PALING BENAR SENDIRI dan yang terjadi adalah perdebatan yang semakin menjauhkan dari esensi. Padahal dalam Al Qur’an Allah sudah banyak sekali memberikan sinyal. Allah Maha Halus, Maha Meliputi segala sesuatu, Allah lebih dekat dari urat leher dan masih banyak lagi. So, konsekuensinya ya MANUNGGAL.

Ketika membahas tentang Tuhan,, MOHON SUDUT PANDANG KITA SEDIKIT DIPERLUAS, karena sudah diperluas pun tetap saja belum bisa mewadahi hal yang sebenarnya. Sehingga sebenarnya pertanyaan TUHAN ADA DIMANA? itu sebenarnya pertanyaan yang kurang tepat. Karena kata DIMANA berarti dalam ruang dan waktu. Padahal Tuhan itu bebas dari ruang dan waktu. Bahkan dalam Hadits Qudsi ada sebuah statement yang artinya AKU (Allah) adalah SANG WAKTU,,, Ya wajar saja jika Allah menyebutkan bahwa diri-Nya lepas dari ruang dan waktu. Ingat, yang tidak bisa dibasahi ya yang membasahi. Yang tidak bisa terbakar ya yang membakar. Yang tidak lekang oleh waktu ya waktu itu sendiri.

Beberapa bulan yang lalu (sudah lama sekali) saya katakan TUHAN ITU TIDAK DIMANAPUN, TAPI ADA DIMANA-MANA. Kalimat itu sangat kontradiktif bukan? Tapi memang demikian lah kenyataannya. Karena Tuhan Maha Meliputi segala sesuatu ya demikian konsekuensinya. Nah tapi waktu itu status saya juga menuai kontroversi. Ada salah seorang yang protes : “LHO BERARTI TUHAN JUGA ADA DI WC? ITU KAN TEMPAT KOTOR?”,,, hmm, begini loh,,, Kembali, dalam membahas manunggaling kawulo lan gusti cara pandang kita jangan cara pandang sebagai manusia tunggal. Jangan dalam sudut pandang dunia 3 dimensi ini. Sekarang saya contohkan begini, di dalam TAHI dan TAHU itu ada elektron enggak? Jelas ada.Tanpa membahas struktur molekul yang membedakan, yang namanya elektron dimana-mana ya sama saja, elektron.
Mau di dalam TAHU atau TAHI yo podo wae,,, Ketika sudut pandang kita dari dunia material betul bahwa TAHU itu tidak menjijikkan dan TAHI itu menjijikkan. Tapi di dunia yang lebih halus tidak demikian adanya. Nah ingat kemanunggalan Tuhan itu jangan dilihat dari kacamata dunia materi. Makanya saya katakan TUHAN TIDAK DIMANAPUN, TAPI ADA DIMANA-MANA. Tuhan selalu terlibat dalam segenap proses hidup, termasuk proses pembusukan di dalam septic tank. Bahkan Tuhan tidak segan memberi hidayah di kompleks pelacuran. Kadang ego kita untuk memuliakan Tuhan malah menjauhkan dari esensi kemuliaan itu sendiri.

Kemanunggalan itu juga disinyalkan dengan penggunaan kata-kata subyek yang bergonta-ganti di dalam Al Qur’an ketika Allah menyebut diri-Nya. Kadang menggunakan AKU, kadang DIA dan kadang KAMI. Nah sebenarnya fenomena di zona quantum semua itu sama saja alias satu subyek. Di zona quantum kata DI SANA, DI SITU, DI SINI sama saja.
Memang ada beberapa versi pemahaman tentang penggunakan kata ganti subyek AKU, KAMI dan DIA dalam Al Qur’an. Ada yang mengatakan kata KAMI adalah sebagai kata ganti kehormatan sebagaimana digunakan ketika berpidato dalam acara-acara resmi. Saya pribadi sering mendengar orang berpidato yang menyebut dirinya sendiri dengan kata kami. Ok, sampai di situ saya bisa menerimanya. Tapi muncul pertanyaan lagi. Mengapa kalau memang begitu maksudnya kok tidak semuanya saja menggunakan kata KAMI? Ada yang pernah menjawab ketika saya membahas ini dengan kalimat ; “Ya suka-suka Tuhan ya, mau pake kata AKU kek, DIA kek, KAMI kek itu bukan urusan kita!”.O my god jadi ngajak debat kusir,,, hikz Saya bukan sedang mempermasalahkan Tuhan bung. Saya berupaya untuk mengenal SIAPA YANG SAYA SEMBAH.

Setelah menelusuri ke berbagai sumber dan menyelami diri sendiri, dalam pemahaman saya penggunaan kata ganti subyek yang berbeda-beda tersebut adalah sinyal tentang konsep kemanunggalan kawulo lan gusti. Saya tidak menyimpulkan bahwa Tuhan “berada” di zona quantum. Namun untuk memudahkan pemahaman agar kita tidak terkotak dengan kerangka dunia 3 dimensi ini saya akan membahas fenomena di zona quantum. Di zona quantum pembedaan arah tidak berarti. Konsep DI SANA, DI SINI dan DI SITU semuanya ya sama saja, demikian juga konsep INI dan ITU. Semuanya menjadi tidak berlaku.Sama pula dengan konsep AKU, KAMI dan DIA. Di zona quantum ya semua kata ganti itu akan menunjuk kepada SUBYEK yang sama. Oleh karenanya saya mengulangi kalimat di bagian sebelumnya yaitu TIDAK DIMANAPUN TAPI DIMANA-MANA.

Sederhananya kalo boleh saya ibaratkan jika kita seorang diri berada dalam ruangan penuh potongan cermin yang disusun seperti ubin baik di lantai dasar, dinding maupun langit-langitnya, maka semuanya akan nampak “bayangan” diri kita. Ketika kita menunjuk ke diri sendiri sambil mengatakan AKU, menunjuk ke cermin sambil mengatakan DIA, sekaligus menunjuk kemana-mana sambil mengatakan KAMI, ya semuanya adalah kita. Bedanya yang satu asli yang lainnya hanya bayangan. Dengan demikian Tuhan bebas saja menggunakan kata ganti subyek. Karena dzatnya MELIPUTI semuanya. Semisal anda menerima gaji dari atasan anda saya bertanya, darimana rejeki itu? Secara kasat mata itu memang dari atasan anda. Tapi pada tataran hakikat rejeki yang anda terima itu ya dari Allah, dari Tuhan. Karena dalam prosesnya Tuhan melibatkan ciptaan-Nya maka BELIAU menggunakan kata ganti KAMI.Sampai tataran ini mungkin tidak akan menimbulkan perdebatan.
Nah yang menjadi “mumet” adalah ketika pertanyaannya bagaimana dengan IBLIS?Atau orang-orang jahat? Kalau Tuhan meliputi semuanya berarti Tuhan ikut andil donk dalam kejahatan?Kalau Tuhan manunggal dengan makhluk apakah Tuhan juga manunggal dengan orang-orang yang korupsi?Masak Tuhan berbuat jahat?
Jika semua pertanyaan ini muncul dalam benak kita maka kita kembali telah terjebak dalam kacamata kita sebagai manusia. Kita kembali terjebak “melogika-kan” Tuhan dengan frame kita. Sama saja kita mengatakan elektron pada TAHU itu tidak najis dan elektron dalam TAHI itu najis. Hemmm,,,, bukankah Tuhan juga tetap memberikan napas pada mereka yang sedang maksiat di tempat pelacuran? Mohon renungkan ini friends,,,

Di bagian ini saya akan membahas tentang zona quantum. Why? Karena di bagian sebelumnya ada beberapa koment yang masih dalam frame dunia material ketika memahami konsep manunggal.Akibatnya masih menggunakan penalaran Tuhan berada di luar atau di dalam diri ya? Jawabannya DI DALAM SEKALIGUS DI LUAR, mudah-mudahan gak bingung dengan jawaban saya ini. Suka tidak suka ya begitu, karena Tuhan tidak berarah dan berlokasi.Kalau berlokasi berarti berada dalam ruang dan waktu. Dan itu bukan sifat Tuhan. Allah itu Maha Halus. Bahkan saking halusnya tidak bisa dibayangkan oleh pikiran kita sebagai makhluk.

Nah di zona halus itu apapun konsep yang ada dalam pikiran kita tidak berlaku dan tidak bisa digunakan. Sebagaimana saya uraikan di bagian sebelumnya Tuhan BUKAN berada di zona quantum. Ini untuk menyederhanakan dunia yang sangat halus. Dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang kita persepsi dengan indera kita ini.Apa sih zona quantum itu? Jika sebuah benda apapun kita pecah-pecah teruuuuus sampai haluuuus maka akan ketemu yang namanya molekul. Kalo molekul itu dipecah-pecah lagiiii akan ketemu yang namanya partikel yaitu proton, elektron dan neutron. Kalau dipecah lagiii dan seterusnya yang kita dapati adalah energy dan seterusnya dan seterusnya.

Nah dalam ilmu fisika, hal-hal yang berada di balik sebuah materi itulah dibahas dalam fisika quantum yaitu ilmu fisika yang membahas zona halus. Nah di zona tersebut hampir semua konsep yang kita gunakan di dunia material ini jungkir balik alias tidak berlaku. Di zona itu semua hal menjadi satu. Arah di sini, di situ dan di sana tidak berlaku. Di dalam dan di luar juga gak berlaku. Besok, nanti, tadi, kemarin juga gak berlaku. Dan seterusnya dan seterusnya enggak berlaku.
Sulit dibayangkan kan?
Tentu, lha wong kalimat saya ini juga belum mewakili kenyataan sesungguhnya kok. Nah Allah Maha Halus. Bagaimana mungkin kita bisa menjangkaunya dengan pikiran kita? Lho berarti gak ada gunanya tho membahas zona quantum untuk memahami konsep manunggal?Ya jelas ada!Di zona quantum semua hal di alam semesta itu MANUNGGAL. Di zona quantum semuanya SATU! Anda, saya, hewan, angin dan semuanya adalah satu kesatuan alias ONENESS. Sehingga ditingkatan hakikat ya benar konsep manunggaling kawulo gusti itu. Nah yang jadi salah adalah ketika kita mengartikan makhluk sama dengan Tuhan, mengartikan Tuhan ada di dalam diri kita, itu salah kaprah. Semua hal itu ya dalam liputan dzat-Nya.

Lalu apa konsekuensinya?
Di tingkatan hakikat sesungguhnya yang BENAR-BENAR ADA HANYA ALLAH. Apapun yang kita lihat ini adalah SEMU. Sehingga bila seseorang sudah sampai pada tataran menghilangkan ke-aku-annya, meniadakan dirinya maka siapa lagi yang ada, YA JELAS ALLAH.

Jawaban yang sering kita dengar adalah bahwa Tuhan itu di ada di langit, ada di arsy. Meskipun kalimat itu ada di Al Qur’an dan Al Hadits, tapi kita harus hati-hati memaknai kata LANGIT dan ARSY. Karena dengan mengatakan TUHAN BERADA di bla... bla... bla... maka kita kembali TERJEBAK dalam konsep RUANG WAKTU. Dan itu berarti kita tanpa sadar menyamakan Tuhan dengan Dunia Material

Apa sih langit?
Secara umum banyak yang menunjuk langit sebagai sesuatu yang berada di atas kepala kita. Tapi itu sebenarnya juga keliru. Kalau kita menyadari bahwa bumi itu bentuknya bulat bukankah di bawah kaki kita juga langit? Gak percaya? Coba kita bor tanah di bawah kaki kita sampai nembus belahan bumi di bagian sebaliknya, pasti akan melihat awan juga di sana, bahkan bulan dan bintang jika di belahan bumi sana sedang malam hari. Makanya ada penjelasan tentang arsy, bahwa singgasana-Nya Allah itu meliputi langit dan bumi alias semuanya. Celakanya ada juga lho yang memahami singgasana sebagai kursi besar seorang raja dan Tuhan duduk di atas kursi itu. Parah kan?

Saya menulis note ini agar segala konsep dalam kepala kita harus “dibuang”, atau kalau tidak digunakan secara hati-hati ketika membahas tentang Tuhan. Segala perumpamaan yang digunakan Tuhan dalam kitab suci adalah bahasa penyederhanaan saja dan bukan realitas aslinya.
Apa yang bisa kita inderai adalah sesuatu yang berada dalam ruang waktu. Segala sesuatu yang berada dalam ruang waktu pasti tidak abadi dan rusak.

Langit itu sebuah tempat, berlokasi bukan? Tuhan ada di langit? Wah saya kira itu harus diluruskan jika pemahaman tentang langit adalah sebuah sebuah lokasi yang bisa diinderai.
Saya berikan ilustrasi begini.
Jika anda berada di dalam kamar berarti anda berada dalam sebuah ruangan. Artinya anda lebih kecil dari ruangan itu. Apakah bisa disebut bahwa anda meliputi ruangan? Ya gak bisa! Padahal Allah MELIPUTI semuanya, masak berlokasi di sebuah TEMPAT? Lebih pusing lagi kalo ada yang mengatakan manusia akan ketemu Tuhan di akhirat. Heiii,,,, Tuhan ada di dalam akhirat atau akhirat itu ada dalam liputan dzat-Nya? Mari buka keSADARan kita !!!!!

Sekali lagi ingat pembahasan kita di bagian sebelumnya tentang zona quantum. Semua hal baik yang kita ketahui maupun tidak itu MANUNGGAL dalam lingkupan dzatnya. Termasuk manusia. Itulah sebabnya ada larangan untuk berpikir tentang dzat Allah. Lha wajar saja lha wong pikiran kita gak bakalan nyampe. Bagaimana mungkin YANG DILIPUTI bisa mempersepsikan YANG MELIPUTI secara utuh?

Orang jawa ketika membahas tentang realitas Tuhan ini mengatakan :“TAN KENO KINOYO NGOPO”. Artinya, entah, embuh, gak tau. Susah untuk diungkapkan dengan kalimat apapun. Memisahkan Tuhan dari makhluk bisa menyesatkan pemahaman. Demikian pula jika menyamakan Tuhan dengan makhluk, jelas menyesatkan.
Dzat Allah itu beda dengan apapun yang kita kenal.

So, dalam pemahaman saya konsep manunggaling kawulo lan gusti itu yo kebenaran. Dengan catatan pemahaman konsep manunggalnya harus benar. Bahkan kita mau tau atau tidak soal manunggaling kawulo lan gusti yo semuanya memang manunggal kok! Semuanya itu ibarat udara yang sama hanya saja terpisahkan oleh sekat ruangan.

Lalu mengapa dalam cerita Syech Siti Jenar beliau dihukum atau dihakimi melakukan kesalahan? Dalam penilaian saya adalah karena beliau mengajarkan sesuatu pengetahuan yang sangat tinggi kepada orang-orang yang belum nyampe tingkat pemahamannya. Akhirnya “njegleg” (gak kuat). Sebagaimana kita ketahui apapun yang ada dalam benak kita tidak akan pernah terwakili dengan kata-kata. Apalagi ketika membahas tentang Tuhan. Jelas akan terjadi distorsi yang sangat fatal jika disampaikan kepada mereka yang belum siap.

Beberapa kali saya membuat status di facebook tentang DOUBLE SLIT EXPERIMENT (eksperimen dua celah) dari Thomas Young. Why? Karena percobaan itu luar biasa! Percobaan fisika tersebut membuktikan bahwa ada suatu titik dimana si pengamat akan “menjadi satu” dengan elektron yang diamati. Sehingga konsepnya bukan lagi pengamat, melainkan partisipan karena si pengamat ikut terlibat. Dalam keadaan itu perilaku elektron sesuai dengan niat dari pengamatnya. Jadi sebenarnya sangat jelas sekali tentang kebenaran konsep manunggaling kawulo lan gusti. Ada suatu titik dimana akhirnya “yang menyembah” MELEBUR dengan “yang disembah”. Tapi saya ingatkan sekali lagi “yang menyembah” tidak sama dengan “yang disembah”.
Dalam konteks double slit experiment dapat saya katakan sang pengamat dan elektron tetap dua hal yang berbeda, tapi “menjadi satu” dalam prosesnya.

Berkenaan dengan hal di atas, informasi di Al Qur’an tentang TAKDIR akan menjadi membingungkan ketika kita tidak memahami konsep kemanunggalan antara Tuhan dengan makhluk. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah “berkehendak atas segala sesuatu”.
Namun di ayat yang lain diinformasikan bahwa “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mengubahnya”.
Mana yang benar dari kedua pernyataan itu?
Saya tegaskan jawabannya adalah BENAR DUA-DUANYA SEKALIGUS. Karena di sini sebenarnya Allah menginformasikan fenomena yang sama persis dengan DOUBLE SLIT EXPERIMENT itu. Kita adalah obyek sekaligus subyek. Terjadi proses kreasi partisipatif sebagaimana yang terjadi antara si pengamat dengan elektron. Nah di bagian akhir ini mungkin ada beberapa di antara anda yang kesulitan memahami. Mengapa? Karena konsep dasar isi dari bagian ini mengambil inti dari percobaan fisika Thomas Young. Hal ini membuktikan apa? Bukti bahwa konsep manunggaling kawulo lan gusti itu sangat ilmiah. Sebenarnya konsep manunggaling kawulo lan gusti adalah ilmu fisika quantum versi jaman dulu (jadul) dengan bahasa berbeda.
Lha saat ini saja ketika kita membicarakan soal fisika quantum gak semua orang siap bukan? Nah saat itu Syech Siti jenar menjelaskan “fisika quantum” kepada orang-orang yang belajar fisika klasik pun belum pernah, yo jadinya salah kaprah.

Nah demikian uraian saya tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Banyak hal yang tidak saya uraikan di sini. Tapi saya berupaya menuangkan inti-intinya. Saya tidak mengklaim bahwa tulisan ini adalah sebuah kebenaran mutlak. Namun saya berharap dari tulisan ini kita tidak lagi menghakimi bahwa konsep manunggaling kawulo lan gusti itu salah. Kita lah yang telah salah memahaminya.

Sumber: https://www.facebook.com/notes/-catatan-sang-durga-/mkg/500625606696285

Senin, 04 November 2013

Ketelitian

Di sebuah ruang kuliah, seorang profesor kedokteran memberikan kuliah perdananya. Para mahasiswa baru itu tampak serius. Mata mereka terpaku menatap profesor, seraya tangan sibuk mencatat.


“Menjadi dokter, butuh keberanian dan ketelitian,” terdengar suara sang profesor. “Dan saya harap kalian dapat membuktikannya.” Bapak itu beranjak ke samping. “Saya punya setoples cairan limpa manusia yang telah direndam selama 3 bulan.” Profesor itu mencelupkan jari ke dalam toples, dan memasukkan jari itu ke mulutnya. Terdengar teriak-teriak kecil dari mahasiswa itu. Mereka terlihat jijik. “Itulah yang kusebut dengan keberanian dan ketelitian,” ucap profesor lebih meyakinkan.
“Saya butuh satu orang yang bisa berbuat seperti saya. Buktikan bahwa kalian ingin menjadi dokter.” Suasana aula mendadak senyap. Mereka bingung: antara jijik dan tantangan sebagai calon dokter. Tak ada yang mengangkat tangan. Sang profesor berkata lagi, “Tak adakah yang bisa membuktikan kepada saya? Mana keberanian dan ketelitian kalian?

Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. “Ah, akhirnya ada juga yang berani. Tunjukkan pada teman-temanmu bahwa kau punya keberanian dan ketelitian.รข€ Anak muda itu menuruni tangga, menuju mimbar tempat sang professor berada. Dihampirinya stoples itu dengan ragu-ragu. Wajahnya tegang, dan perasaan jijik terlihat dari air mukanya.
Ia mulai memasukkan jarinya ke dalam toples. Kepala menoleh ke samping dengan mata yang menutup. Teriakan kecil rasa jijik kembali terdengar. Perlahan, dimasukkannya jari yang telah tercelup lendir itu ke mulutnya. Banyak orang yang menutup mata, banyak pula yang berlari menuju kamar kecil. Sang professor tersenyum. Anak muda itu tersenyum kecut, sambil meludah-ludah ke samping.

“Aha, kamu telah membuktikan satu hal, anak muda. Seorang calon dokter memang harus berani. Tapi sayang, dokter juga butuh ketelitian.” Profesor itu menepuk punggung si mahasiswa. “Tidakkah kau lihat, aku tadi memasukkan telunjuk ke toples, tapi jari tengah yang masuk ke mulut. Seorang dokter memang butuh keberanian, tapi lebih butuh lagi ketelitian.”
***

Tantangan hidup, kadangkala bukan untuk menghadapi kematian. Tapi, justru bagaimana menjalani kehidupan. Banyak orang yang takut mati. Tapi, tidak sedikit yang memilih mati ketimbang hidup. Banyak yang menghabisi hidup pada jalan-jalan tercela. Banyak pula yang enggan hidup hanya karena beratnya beban kehidupan.

Ujaran profesor itu memang benar. Tantangan menjadi seorang dokter-dan sesungguhnya, menjadi manusia-adalah dibutuhkannya keberanian dan ketelitian.
Bahkan, tantangan itu lebih dari sekadar mencicipi rasa cairan limpa di toples. Lebih berat. Jauh lebih berat. Dalam kehidupan, apa yang kita alami kadang lebih pahit dan menegangkan. Namun, bagi yang teliti, semua bisa jadi manis, menjadi tantangan yang mengasyikkan. Di sanalah ditemukan semua rasa, rupa dan suasana yang mendidik. Dan mereka dapat dengan teliti memilah dan memilih.

Teman, hati-hatilah. Hidup memang butuh keberanian. Tapi, akan lebih butuh ketelitian. Cermati langkahmu, waspadai tindakanmu. Hati-hati saat “mencelupkan jari” dalam toples kehidupan. Kalau tidak, “rasa pahit” yang akan kita temukan.

Terima kasih telah membaca. Hope you are well and please do take care
Wassalamualaikum wr wb

PUISI BAU KENTUT!



Seorang cendekiawan, Zhou Zi, yang telah mempelajari konsep Buddhisme dari gurunya, seorang Mahabhikshu Zen, pada suatu hari membuat suatu puisi yang menurutnya merupakan pencerminan keadaan batinnya yang tenang, tentram dan bahagia. Dalam puisinya tersebut, dilukiskan bagaimana dia telah mencapai keadaan batin yang damai, kokoh, tidak terpengaruh oleh bahkan delapan mata angin sekalipun.

Sungguh bangga sekali Zhou Zi akan puisi barunya tersebut, sehingga dia berniat untuk mengirimkan kepada gurunya yang tinggal di seberang sungai, dengan harapan akan memperoleh pujian. Zhou Zi segera mengirimkan kurir untuk menyampaikan puisinya tersebut, yang diberi judul "Hati yang Tiada Tergoyahkan". Setelah gurunya menerima kiriman puisi tersebut dan membacanya, dimana oleh kurir cendekiawan dimintakan agar gurunya dapat menuliskan kesannya, maka beliau menuliskan sesuatu di balik kertas puisi tersebut dan diserahkannya kembali melalui kurir.

Zhou Zi menunggu kedatangan kurirnya untuk membaca pujian yang disampaikan oleh gurunya, dan segera dibuka sampul berisi kertas puisinya. Betapa marahnya Zhou Zi menemukan tulisan gurunya berupa tinta merah dengan tiga huruf besar, "PUISI BAU KENTUT". Sungguh geram Zhou Zi, dia menilai gurunya benar-benar tidak mengerti ungkapan yang mendalam dari dia akan konsep Buddhisme tentang keseimbangan batinnya. Zhou Zi memutuskan untuk segera ke seberang sungai menemui gurunya.

Sesampainya di tempat gurunya, Zhou Zi menanyakan dengan emosi yang ditahan, "Kenapa suhu mencela puisi saya, apakah suhu tidak bisa menangkap arti kiasan yang begitu mendalam dari puisi ini?"

Mahabhikshu Zen tersebut tertawa dan berkata; "Ha...ha....ha..., lihatlah dirimu sendiri muridku, baru terkena satu angin kentut saja, Anda sudah terbirit-birit ke sini..., apalagi kalau diterpa delapan mata angin sekaligus!" (satu angin yang dimaksud oleh Mahabhikshu Zen tersebut adalah keadaan batin yang dicela).


Sang Buddha bersabda:


"Mereka yang telah memotong semua kemelekatannya
dan telah mengatasi gejolak batinnya,
akan tenang, tentram dan bahagia,
karena dia telah mencapai keadaan batin yang damai."
(Samyutta Nikaya I, 212).

SURGA DAN NERAKA



Seorang biksu junior mendatangi gurunya. Katanya, 'guru, aku masih tidak mengerti. Dalam kitab banyak disebutkan mengenai 'surga' dan 'neraka'. Sebenarnya surga dan neraka itu ada atau tidak? Bagaimana bentuknya surga dan neraka itu?'

Sang guru menyuruhnya mengambil ember dan mengisinya dengan air sungai sampai penuh. Si biksu junior melakukan permintaan gurunya dengan penuh tanda tanya. Lalu si biksu junior kembali ke hadapan gurunya sambil menjinjing ember penuh air. 'Letakkan disitu', kata sang guru. 'Untuk apa ember air ini guru?', tanya si biksu lagi.

Kata sang guru, 'bukankah kau ingin tahu seperti apa surga dan neraka itu?'. 'Benar guru', jawab si biksu. 'Nah, kau akan menemukan surga dan neraka dalam ember air itu', jawab sang guru. Si murid yang penasaran berjongkok di depan ember, dan melihat dari dekat permukaan airnya. Tiba-tiba sang guru menenggelamkan kepala si biksu kecil ke dalam ember tersebut. Si biksu kecil meronta2 karena tidak bisa bernapas. Beberapa saat kemudian baru sang guru melepaskan kepala si biksu junior.

'Apa yang guru lakukan? Rasanya menderita sekali tenggelam dalam air itu dan tidak bisa bernapas', teriak si biksu. 'Lalu bagaimana keadaanmu sekarang?', tanya sang guru. Si biksu junior tertawa, dan berkata, 'sekarang rasanya lega sekali bisa bernapas kembali'. Kata sang guru, 'nah dalam waktu sekejap kau sudah mengelilingi surga dan neraka. Apa kau masih meragukan keberadaannya?'

Moral: Perbedaan 'surga' dan 'neraka' sangatlah tipis. Apabila kita melihat dunia ini dari sisi positifnya, dan menikmati segala proses kehidupan kita dengan hati lapang dan senantiasa bersyukur, kehidupan ini terasa indah, nyaman dan damai, seolah di surga. Sebaliknya, kalau kita melihat dunia ini dari segala segi negatifnya, selalu menyalahkan orang lain atau keadaan, dan selalu mencari alasan dari segala permasalahan dan kegagalan kita, kehidupan kita akan penuh dengan keluhan, kesedihan, dan kesengsaraan. Masa depan kita terlihat begitu suram. Bukankah rasanya seperti hidup di neraka?

Belajar Zen harus memahami esensinya

Di sebuah monastery Zen terdapat seorang master Zen dan seorang muridnya.  Untuk mengajarkan kesunyataan, maka di depan murid, sang Guru mengangkat patung Buddha dari keramik dan kemudian menjatuhkannya hingga pecah.  Murid terbengong sejenak dan kemudian merasa tercerahkan.   Setelah peristiwa itu, si murid mohon diri untuk turun gunung. Sang Guru sedih dan hendak menahannya, tapi si murid bersikeras. Tak lama kemudian, sang guru meninggal dan ada peristiwa2 yang menunjukkan bahwa beliau telah menjadi Bodhisattva.   Si murid mengajarkan hal itu kepada masyarakat desa di kaki gunung. Setiap ia menemukan pemilik rumah memiliki patung Buddha ia selalu membanting dan memecahkannya. Demikianlah seterusnya, penduduk2 desa itu mengajar ke desa-desa lain dimana orang2 semuanya mulai membanting dan memecahkan patung Buddha. Mereka berkata : patung is patung, buang ketahayulan!   Sampai suatu ketika terjadi gempa bumi dahsyat dan semua dari mereka mati. Ternyata si murid dan mereka semua terlahir di neraka.  

Koan : Perbuatan yang sama, tapi terlahir di tempat yang berbeda. Mengapa???  
Hints:  - Belajar Zen harus memahami esensinya, bukan sekedar meniru penampilan luarnya belaka.  - Apa yang nampak diluarnya mungkin sama, tapi proses dalam batin adalah tanggung jawab masing2 pribadi.  - Belajar memutuskan kemelekatan janganlah menjadi sebuah kemelekatan baru.

Ini pun akan berlalu



Seorang petani kaya mati meninggalkan kedua putranya. Sepeninggal ayahnya, kedua putra ini hidup bersama dalam satu rumah. Sampai suatu hari mereka bertengkar dan memutuskan untuk berpisah dan membagi dua harta warisan ayahnya. Setelah harta terbagi, masih tertingal satu kotak yang selama ini disembunyikan oleh ayah mereka.

Mereka membuka kotak itu dan menemukan dua buah cincin di dalamnya, yang satu terbuat dari emas bertahtakan berlian dan yang satu terbuat dari perunggu murah. Melihat cincin berlian itu, timbullah keserakahan sang kakak, dia menjelaskan, “Kurasa cincin ini bukan milik ayah, namun warisan turun-temurun dari nenek moyang kita. Oleh karena itu, kita harus menjaganya untuk anak-cucu kita. Sebagai saudara tua, aku akan menyimpan yang emas dan kamu simpan yang perunggu.”

Sang adik tersenyum dan berkata, “Baiklah, ambil saja yang emas, aku ambil yang perunggu.” Keduanya mengenakan cincin tersebut di jari masing-masing dan berpisah. Sang adik merenung, “Tidak aneh kalau ayah menyimpan cincin berlian yang mahal itu, tetapi kenapa ayah menyimpan cincin perunggu murahan ini?” Dia mencermati cincinnya dan menemukan sebuah kalimat terukir di cincin itu: INI PUN AKAN BERLALU. “Oh, rupanya ini mantra ayah…,” gumamnya sembari kembali mengenakan cincin tersebut.
Kakak-beradik tersebut mengalami jatuh-bangunnya kehidupan. Ketika panen berhasil, sang kakak berpesta-pora, bermabuk-mabukan, lupa daratan. Ketika panen gagal, dia menderita tekanan batin, tekanan darah tinggi, hutang sana-sini. Demikian terjadi dari waktu ke waktu, sampai akhirnya dia kehilangan keseimbangan batinnya, sulit tidur, dan mulai memakai obat-obatan penenang. Akhirnya dia terpaksa menjual cincin berliannya untuk membeli obat-obatan yang membuatnya ketagihan.

Sementara itu, ketika panen berhasil sang adik mensyukurinya, tetapi dia teringatkan oleh cincinnya: INI PUN AKAN BERLALU. Jadi dia pun tidak menjadi sombong dan lupa daratan. Ketika panen gagal, dia juga ingat bahwa: INI PUN AKAN BERLALU, jadi ia pun tidak larut dalam kesedihan. Hidupnya tetap saja naik-turun, kadang berhasil, kadang gagal dalam segala hal, namun dia tahu bahwa tiada yang kekal adanya. Semua yang datang, hanya akan berlalu. Dia tidak pernah kehilangan keseimbangan batinnya, dia hidup tenteram, hidup seimbang, hidup bahagia.

inilah hidup sebagai manusia seperti rumput di padang yang mati dan berganti setiap waktu. Relasi bisa datang dan pergi tanpa pernah bisa berhenti. Kemanusiaan yang terbatasi oleh banyak hal. semuanya pasti akan berlalu. ada waktu untuk mencintai. ada waktunya.

Kisah Lalat dan Semut


Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta di atas sebuah tong sampah di depan sebuah rumah. Suatu ketika, anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah. Kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat. 

"Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar," katanya. 

Setelah kenyang, si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca.

Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik, demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang, si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan.

Esok paginya, nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai. Tak jauh dari tempat itu, nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan, seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua, "Ada apa dengan lalat ini, Pak? Mengapa dia sekarat?"

"Oh.., itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini. Sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu. Namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita."

Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi, "Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? Kenapa tidak berhasil?"

Masih sambil berjalan dan memanggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab, "Lalat itu adalah seorang yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama."

Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya, namun kali ini dengan mimik dan nada lebih serius, "Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama tapi mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini."

"Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda."

Jumat, 20 September 2013

Monyet dan Apel Kayunya

Suatu ketika ada seekor monyet periang yang hidup di hutan, memakan buah yang lezat ketika lapar, dan istirahat ketika letih. Suatu hari dia sampai ke sebuah rumah, di sana dia melihat satu mangkuk apel yang paling indah. Dia mengambil satu apel di masing-masing tangannya dan kembali lari masuk hutan.
Dia menciumi apel itu tapi tidak mencium bau apapun. Dia mencoba memakannya tapi malah membuat giginya ngilu. Apel itu ternyata terbuat dari kayu, tapi nampak demikian indah, dan ketika monyet-monyet lain ingin melihatnya, dia malah memegangnya dengan semakin erat.
Dia begitu mengagumi apa yang baru dimilikinya dan dengan bangga membawa-bawanya sambil berkelana dalam hutan. Apel itu nampak berkilau kemerahan di bawah sinar matahari, dan nampak sempurna baginya. Dia menjadi begitu tergantung padanya, sampaisampai pada awalnya bahkan dia tidak sadar kalau dia sedang lapar.
Sebatang pohon buah mengingatkannya, tetapi dia merasakan sentuhan halus apel di tangannya, dia tidak mau melepaskan pegangan pada apel kayu itu agar dia dapat meraih buah untuk di makannya. Pendeknya, dia tidak bisa rileks, karena harus terus melindungi apel kayunya itu. Seekor monyet yang penuh kebanggaan tapi tidak bahagia itu terus berkelana di dalam hutan.
Apel-apel kayu itu terasa semakin berat, dan monyet kecil yang malang itu mulai berpikir untuk meninggalkannya. Dia merasa lelah, lapar, dan tidak bisa memanjat pohon atau memetik buah dengan tangannya yang tidak bebas. Bagaimana kalau dia melepaskannya saja?
Melepaskan diri dari hal yang demikian berharga nampaknya tidak mungkin, tapi apa lagi yang dapat dilakukannya? Dia sudah demikian letih dan lapar. Melihat pohon buah-buahan berikutnya, dan mencium nikmatnya bau buah itu, ah cukup…. Dia menjatuhkan apel kayunya dan meraih makanannya. Dan dia menjadi bahagia lagi.
.
Melepaskan apel kayu
Sama seperti monyet kecil itu, kadang-kadang kita membawa-bawa hal yang nampaknya demikian berharga untuk kita tinggalkan. Seorang pria membawa-bawa gambaran tentang dirinya sebagai “orang yang produktif” dan membawa-bawanya seperti apel kayu yang berkilat itu. Namun pada kenyataannya, kesibukannya itu membuatnya letih, dan haus akan kehidupan yang lebih baik. Tetapi tetap saja, melepaskannya sungguh sebuah tindakan yang menyesakkan. Bahkan kekhawatirannya juga diperlakukannya seperti apel yang keramat, untuk memberi bukti bahwa dia “melakukan apa saja yang bisa.” Dia terus mempertahankannya dengan paksa.
Ini adalah hal berat untuk disaksikan, kita dengan demikian kuat mengidentifikasi diri dengan milik kita, bahkan merasa demikian sedih ketika mobil kita penyok. Betapa lebih kuatnya kita mengidentifikasi diri kita dengan keyakinan dan gagasan pribadi kita? Walau mereka tidak selalu mengisi jiwa kita, bukankah demikian? Dan kita jadi letih karena terus mempertahankannya.
Cara bagaimana lagi kita bisa mengakhiri kisah ini? Mungkin monyet itu ditemukan telah mati kelaparan, di bawah sebatang pohon yang indah, dengan buah ranum dalam jangkauan, sambil tetap memegang erat apel kayunya.
Tetapi saya memilih mengakhiri kisah ini dengan kepasrahan monyet itu, yang mau melepaskan apel kayu dari genggamannya, karena hanya dengan tangan terbuka kita bisa menerima