Minggu, 10 Juli 2011

Chain of Destiny

oleh Samekta Giri pada 10 Juli 2011 jam 19:21
"Change one thing, change everything" ––Ubah satu hal, mengubah segalanya.

          Barangkali Teman-Teman pernah dengar ungkapan semacam itu(?)…
Slogan dari sebuah film dengan judul “The Butterfly Effect”. ––Yang berkisah tentang seorang pemuda dalam usahanya merubah masa lalunya. Namun alhasil, yang dia lakukan bukan hanya merubah hidupnya sendiri, melainkan juga merubah (mengacaukan) segalanya. –Berkali-kali mengulang, dan hasilnya justru semakin berantakan.
          Di sini kita tidak akan bahas terlalu jauh tentang kisah sinematik. Anggap saja itu tak lebih hanya fantasi Holywood belaka… ^^
Yang akan kita bahas, lebih pada istilah yang merupakan sumber inspirasi dari film di atas. Sesuai dengan judul film tersebut:…

Butterfly Effect” –Efek Kupu-Kupu…
          adalah istilah untuk sebuah teori Chaos. Istilah ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa;…

kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.

Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Hanya sedikit perubahan pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang.
          Edward Norton Lorenz   –menemukan ‘efek kupu-kupu’ atau apa yang menjadi landasan teori chaos pada tahun 1961 di tengah-tengah pekerjaan rutinnya sebagai peneliti meteorologi.  Dalam usahanya melakukan peramalan cuaca, dia menyelesaikan 12 persamaan diferensial non-linear dengan komputer. Pada awalnya dia mencetak hasil perhitungannya di atas sehelai kertas dengan format enam angka di belakang koma (...,506127). Kemudian, untuk menghemat waktu dan kertas, ia memasukkan hanya tiga angka di belakang koma (...,506) dan cetakan berikutnya diulangi pada kertas sama yang sudah berisi hasil cetakan tadi. Sejam kemudian, ia dikagetkan dengan hasil yang sangat berbeda dengan yang diharapkan. Pada awalnya kedua kurva tersebut memang berimpitan, tetapi sedikit demi sedikit bergeser sampai membentuk corak yang lain sama sekali.
          Mirip dengan gejala-gejala yang biasa kita sebut dengan “efek domino”. Tetapi sementara ‘efek domino’ hanya menimbulkan reaksi linear sederhana, ‘efek kupu-kupu’ jauh lebih kompleks dari itu!
          Sesuai dengan semboyan film di atas; “ubah satu hal, (akan berarti) mengubah segalanya!”. Dapat kita buat gambaran; diandaikan kita bisa melakukan perjalanan waktu, maka cukup dengan menjatuhkan sebuah jarum di lokasi tertentu di masa lalu, dalam jangka panjang itu akan dapat membuat perubahan drastis dalam sejarah.

         Tapi hal semacam itu tentunya (lagi-lagi) hanya sebatas fantasi belaka (Sampai saat ini bisa kita yakinkan bahwa perjalanan menembus dimensi waktu tak lebih hanya hayalan belaka).
Kita buat gambaran yang lebih memungkinkan;
         Seperti halnya kepakan kupu-kupu di suatu kawasan yang ternyata –dalam rantai panjang– menyebabkan badai tornado di belahan dunia yang lain… jika kita punya cukup informasi mengenai berbagai fenomena yang terjadi di muka bumi ini, maka kita akan dapat melihat keterkaitan antara (misal;) menangisnya seorang bocah di Indonesia dua puluh tahun silam dengan tumbangnya Husni Mubarak di Mesir beberapa waktu lalu, bersin yang Anda alami beberapa tahun silam dengan kasus Nazarudin dan Gayus Tambunan, tewasnya seorang serdadu di masa Perang Dunia dengan peristiwa lumpur Lapindo, serta berbagai kemungkinan lainnya.
          Ada mata rantai yang saling terkait rumit dari setiap takdir kehidupan. Satu sama lain saling menentukan. Seperti halnya proses terbentuknya alam semesta (terlepas dari teori manapun yang benar), andai satu variabel kecil saja meleset dari tempatnya, maka kehidupan ini tak akan pernah ada.

“Pindahkan satu partikel saja dari tempatnya, maka seluruh dunia akan runtuh!”

          Tak terbatas tanda-tanda di sekeliling kita. Bahwa segalanya saling terkoordinasi dalam satu sistem keteraturan (qada dan qadar)… dengan melihat adanya integerasi kompleks inilah (salah satu hal) yang mengantarkan manusia pada pemahaman ilahiayah. Maka menafikan adanya koordinasi takdir, sama saja kita tak jauh beda dengan “kaum yang tak berfikir”. ––mengingkari adanya Al Qadar!

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan. [QS.Al Baqarah(2); 164]



          Teman-Teman –yang Insya Allah, sudah terbiasa mengamati ayat-ayat kehidupan– tentunya mahfum dengan hal-hal yang noter uraikan di atas. Maka tulisan ini tak akan banyak bermanfaat jika hanya membahas mengenai hal-hal itu.
          Dan di sini noter bukan sedang bicara tentang orang lain, Kawan!... Ini tentang kita!... orang-orang yang mengaku beriman pada Yang Maha Qadar… mengaku percaya pada adanya Keteraturan Sang Pencipta. Cukup beralasankah pengakuan kita itu??? Sebenarnya hal inilah yang menjadi inti maksud tulisan ini… ^^

          Semesta kehidupan dengan setiap kodratnya. Kita masing-masing merupakan mata rantai yang saling terkait satu sama lain. Bukan hanya antara kita dengan keluarga dan saudara-saudara kita, bukan hanya antara Anda dengan tetangga-tetangga Anda, bahkan bukan hanya dengan segala hal di sekitar kita di hari ini… dari pembahasan di atas kiranya dapat kita lihat bahwa kita semua saling terhubung… dengan masa kini, dengan masa lampau maupun masa yang akan datang…
          Dari situ pula dapat kita pahami;… menyesali sesuatu yang telah terjadi (terlepas dari itu hal baik ataupun buruk) sama saja kita menyesali takdir hidup ini. Dan itu tak jauh beda dengan kita mengingkari… –menafikan Keteraturan Yang Maha Qadar!
          “Terlepas dari itu hal baik ataupun buruk”… Ya! Bahkan menyesali (apalagi membenci) hal-hal –yang kita sebut– ‘buruk’ di masa lalu-pun merupakan bentuk penolakan pada takdir kehidupan. Dalam hal ini noter tidak sedang berusaha memaksakan keterkaitan (asal gathuk) pada Anda. Coba kita renungkan beberapa contoh berikut ini;…
          Barangkali kita selalu beranggapan bahwa peperangan yang pernah terjadi di masa lalu itu buruk(?)… Ya! itu sah-sah saja. Barangkali kita beranggapan bahwa kolonialisme itu jahat(?)… itu juga hak Anda untuk berpersepsi. Tapi itu semua bukan hal yang perlu disesali… keburukan bukan untuk dibenci! Menyesali mereka sama saja kita menyesali diri sendiri ––membenci keberadaan diri sendiri!
          Bisa kita bayangkan kausalitasnya satu sama lain;
Andai peperangan itu tak pernah ada, andai bangsa kolonial tak pernah menjajah Indonesia, andai pemimpin-pemimpin bangsa Amerika tak pernah berinisiatif (kejam) menjatuhkan bom atom di Herosima dan Nagasaki, andai Hitler tak pernah mengedepankan narsismenya, andai, andai dan andai… Apa yang akan berlaku andai semua hal (yang kita sebut) ‘buruk’ itu tak pernah terjadi?...
          Barangkali kita akan membayangkan yang indah-indah(?)… hidup di negeri Indonesia yang tentram dan damai(?)… ya, itu mungkin saja. Tapi yang jelas!;…
Jangankan kedaulatan yang kita namai “Negara Kesatuan Republik Indonesia”, bahkan ‘kesatuan’ itu sendiri belum tentu akan pernah ada!... Inisiatif Sumpah Pemuda (sebagai momen penyatuan) tak ‘kan pernah ada!... Dan tentunya proklamasi kemerdekaan Indonesia-pun tidak akan pernah ada!
          Jangankan hal-hal seluas itu, bahkan tanpa semua yang pernah terjadi; belum tentu kakek-nenek buyut kita pernah Dipertemukan!... Belum tentu kakek-nenek kita pernah ada!... Dan orang tua kita pun tidak pernah ada!... Dan Anda tahu artinya itu;… kita tidak akan pernah ada!
Itulah yang noter maksudkan, bahwa menyesali masa lalu sama saja mengingkari keberadaan diri sendiri. Membenci masa lalu (bahkan yang kita sebut ‘buruk’ sekalipun) pada akhirnya sama saja dengan membenci diri sendiri! ––Dan terkait keimanan yang seringkali kita kedepankan, (kembali noter tekankan); Membenci, mendendam, atau sekedar menyesali segala sesuatu yang merupakan bagian dari keterkaitan takdir, pada akhirnya sama saja dengan mengingkari keimanan kita pada Penentu Integerasi Takdir itu sendiri!

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
[QS.Al Hadiid(57):22]

          Lebih khusus (sebagai tambahan);
Apapun dan bagaimanapun bentuknya, kita yang hidup dalam satu semesta kehidupan –sudah merupakan kodrat bahwa, dalam berbagai hal, kita masing-masing berbeda. Dan perbedaan itu bukan untuk dimusuhi. Bahkan sesuatu yang kita sebut ‘jahat’, ‘buruk’, ‘kejam’, ‘fasiq’, ‘lalim’, ‘kafir’ dan berbagai penyebutan lainnya… mereka semua ada bukan untuk dibenci. Namun tentunya juga bukan untuk diikuti. Masing-masing dari kita perlu menjadi diri sendiri ––itu jika Anda mau berkeyakinan prinsip kodrati.
          Pihak-pihak yang berseberangan dengan kita… lawan mereka jika perlu untuk dilawan! Lawan mereka dengan tindakan nyata, perangi mereka dengan usaha yang sebenar-benarnya. Bukan dengan kebencian dan caci maki penyesalan belaka. Dalam kompetisi dan rivalitas yang bermartabat, kita tak perlu membenci, memusuhi, apalagi mendendam pada siapapun. Karena kita yang saling terhubung dalam satu lingkup semesta kehidupan;…

= “yang satu ‘kan menjadi ujian bagi yang lain”=


__”__

Daftar Referensi:
http://en.wikipedia.org/wiki/Butterfly_effect
http://en.wikipedia.org/wiki/Causality
http://en.wikipedia.org/wiki/Chain_reaction
http://en.wikipedia.org/wiki/Determinism
http://en.wikipedia.org/wiki/Domino_effect
http://id.wikipedia.org/wiki/Efek_kupu-kupu
http://id.wikipedia.org/wiki/The_Butterfly_Effect
http://www.butterflyeffectmovie.com/
http://www.fortunecity.com/emachines/e11/86/beffect.html
http://www.tajdid-iaid.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=46

#Teristimewa untuk para pembaca ayat-ayat semesta…