Rabu, 24 Agustus 2011

Dua Bata Jelek

 Alkisah ada seorang bhiksu muda diberi tugas oleh gurunya utk mendirikan tembok vihara dengan menggunakan 2000 buah batu bata.

 Dengan susah payah akhirnya ia menyelesaikannya dgn baik dan tepat pada waktunya.

 Sayangnya setelah selesai semuanya, Bhiksu itu baru menyadari bahwa ada 2 buah batu bata yg tampak lebih menonjol keluar dibandingkan dengan batu bata lainnya. Akibatnya temboknya ada bagian yang tidak rata.

 Bhiksu itu tampak sedih dan kecewa dengan hasil pekerjaannya. Ia pun akhirnya bermaksud untuk merobohkan tembok itu dan mengulangi untuk membangunnya.

 Saat itu datanglah Sang Guru melihat dan mengatakan, “Sungguh hasil karya yg luar biasa”

 Lalu Sang Bhiksu muda berkata, “Tetapi ada 2 batu bata yg tampak menonjol, Guru. Lihatlah! Sungguh membuat temboknya menjadi tdk sempurna”

 Sang Guru menjwb, “Saya tidak melihat 2 batu bata menonjol yang kamu tunjukkan. Sebaliknya saya jelas-jelas melihat ada 1998 batu bata yang tersusun begitu sempurna.”

 Sesungguhnya 2 batu bata itu menggambarkan masalah dlm hidup kita. Apakah hanya karena beberapa masalah kecil saja akan merintangi kita mengayuh dalam samudera kehidupan?

 Janganlah berfokus pada kekurangan saja. Janganlah hanya melihat sisi keburukan saja. Mari belajar mengikis kekurangan dan mengembangkan kebaikan kita.

Kita lahir ke dunia bukan untuk marah.

Oleh : Tan Chau Ming

Cin Tai adalah seorang master Zen yang menyukai bunga anggrek. Beliau telah menanam dan mengumpulkan banyak jenis anggrek di vihara. Pada suatu hari beliau pergi bertugas dan berpesan kepada para siswanya untuk menjaga serta merawat bunga anggrek tersebut dengan baik.

Suatu waktu ketika salah seorang siswa beliau menyiram bunga, tanpa disengaja tersandung rak bunga dan membuat beberapa pot anggrek terjatuh dan pecah. Siswa tersebut sangat takut dan kebingungan.

Ketika Master Cin Tai kembali, dengan berlutut di hadapan sang master siswa itu menyatakan penyesalan dan memohon pengampunan seraya berkata:
"Guru, maafkan saya. Saya telah memecahkan pot bunga anggrek kesayangan Anda. Saya bersedia menerima segala macam hukuman. Saya mohon welas asih sang guru agar tidak marah!"

Setelah mendengar laporan siswa itu Master Cin Tai dengan tenang menjawab:
"Saya menanam bunga anggrek, tujuan yang pertama adalah untuk memberikan
persembahan kepada Sang Buddha. Tujuan yang kedua untuk memperindah
lingkungan. Saya menanam bunga anggrek ini bukan bertujuan untuk melampiaskan amarah"

Kita datang ke dunia ini, bukan untuk melampiaskan angkara murka dan juga
bukan untuk menikmati rasa kesal. Hubungan suami istri, mendidik anak, hubungan antar teman dan relasi, jika dilakukan dengan menghayati kata-kata yang diucapkan Master Cin Tai "SAYA MENANAM ANGGREK BUKAN BERTUJUAN UNTUK MELAMPIASKAN AMARAH " maka kesalahpahaman dan ketegangan akan berkurang banyak.

Orang yang batinnya penuh dengan welas asih, melihat dan merasakan segala sesuatu dengan perasaan tenang dan gembira. Orang yang batinnya dapat merasakan keheningan di dalam jalan kebenaran akan merasakan keindahan hidup ini. Orang yang dapat mengerti dan menghayati Kebuddhaan di dalam batinnya akan selamanya berbahagia.
Kita datang ke dunia ini bukan untuk melampiaskan amarah. Kata-kata tersebut memusnahkan kabut kelam dalam sanubari, dan memberikan inspirasi, kegembiraan, ketenangan serta kedamaian bagi batin kita.

Dokter belajar Zen

Seorang dokter muda di Tokyo yang bernama Kusuda bertemu
dengan teman sekolahnya yang telah mempelajari Zen. Dokter
muda itu menanyakan apakah Zen itu.

"Saya tidak bisa mengatakan kepada anda apakah Zen itu,"
temannya menjawab, "Tetapi satu hal yang pasti. Jika anda
memahami Zen, anda tidak akan takut untuk mati."

"Baiklah, " kata Kusuda. "Saya akan mencobanya. Dimanakah
saya bisa mendapatkan seorang guru?"

"Pergilah ke Guru Nan-in," temannya memberitahukan
kepadanya.

Oleh sebab itu Kusuda pergi menjumpai Nan-in. Ia membawa
sebuah pisau belati yang panjangnya sembilan setengah inci
untuk mengetahui apakah guru itu takut akan kematian atau
tidak.

Ketika Nan-in melihat Kusuda, ia berseru, "Hai, teman. Apa
kabar? Sudah lama kita tidak berjumpa!" Ini membuat Kusuda
bingung, lalu ia menjawab, "Kita belum pernah bertemu
sebelumnya."

"Benar," Nan-in menjawab, "Saya kira anda adalah seorang
dokter yang belajar di sini."

Dengan sikap pembuka yang seperti ini, Kusuda kehilangan
kesempatan untuk menguji si guru, sehingga dengan malu ia
memohon untuk diberikan instruksi Zen.

Nan-in mengatakan, "Zen bukanlah tugas yang berat. Jika anda
adalah seorang dokter, perlakukanlah pasien anda dengan
kebaikan. Itulah Zen."

Kusuda mengundang Nan-in tiga kali. Setiap kali Nan-in
mengatakan hal yang sama, "Seorang dokter tidak boleh
memboroskan waktunya di sini. Pulanglah dan rawatlah pasien
anda."

Masih belum jelas bagi Kusuda bagaimana ajaran seperti itu
bisa menghapuskan ketakutan akan kematian. Oleh sebab itu,
pada kunjungan keempat ia mengeluh, "Teman saya mengatakan
bahwa jika mempelajari Zen, seseorang akan kehilangan
ketakutan akan kematian. Setiap kali saya datang ke sini,
anda menasihati saya untuk merawat pasien saya. Saya sudah
tahu hal itu. Jika inilah yang anda katakan sebagai Zen,
saya tidak akan mengunjungi anda lagi."

Nan-in tersenyum dan menepuk dokter itu, "Saya telah terlalu
ketat terhadap anda. Marilah saya berikan sebuah koan kepada
anda." Ia memberikan kepada Kusuda sebuah Mu dari Joshu
untuk dipikirkan, yang merupakan tugas pencerah-pikiran
pertama di dalam buku yang berjudul "The Gateless Guide"
(Pintu Gerbang yang tidak Berbatas).

Kusuda mengggeluti masalah Mu (Tiada Apa-Apa) selama dua
tahun. Akhirnya, ia merasa bahwa telah mencapai kemajuan
dalam pikiran. Akan tetapi, si guru berkomentar, "Anda masih
belum mencapai kemajuan."

Kusuda melanjutkan dengan penuh konsentrasi selama satu
setengah tahun lagi. Pikirannya menjadi tenang. Problem
terselesaikan. Tiada Apa-Apa menjadi kebenaran. Ia merawat
pasiennya dengan baik dan bahkan tanpa ia sadari, ia telah
bebas dari pemikiran tentang kehidupan dan kematian.

Lalu, ketika ia mengunjungi Nan-in, gurunya yang dulu ini
hanya tersenyum.
vasm is offline  

Cincin emas.

Seorang pemuda mendatangi Zen-sei dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain."

 Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?" Melihat cincin Zen-sei yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu." Zen-sei lalu berkata, "Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."

 Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zen-sei dan melapor, "Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak."

 Zen-sei, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian."

 Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zen-sei dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."

 Zen-sei tersenyum simpul sambil berujar lirih, "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas".

 "Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya dan itu butuh proses. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas "

Mencari Buddha.

Yang Pu meninggalkan rumah dan pergi ke propinsi Si Chua untuk mengunjungi seorang Boddhisatva, ditengah perjalanan bertemu dengan bhiksu tua, “Hendak kemana anak muda?” tanya bhiksu tersebut, “Saya hendak mencari Boddhisatva” jawab Yang Pu, “Daripada mencari Boddhisatva kan lebih baik mencari Buddha, betul ndak?” kata Bhiksu tsb, “Cari Buddha dimana, bhiksu?” “Waktu kamu tiba di rumah, kamu akan disambut orang yang memakai handuk dengan sandal terbalik. Nah orang itulah Buddha” jawab Bhiksu tua

 Ia mengikuti petunjuk dan ketika tiba dirumahnya hari telah gelap, Ibunya mendengar suaranya di depan pintu sangat bahagia sehingga ia begitu saja memakai handuk tanpa sempat berpakaian lagi dan bahkan memakai sandalnya secara terbalik. Ia melesat ke luar dan ketika Yang Pu melihat ibunya, ia terpesona

 Orang bisa saja berjalan jauh mencari kebenaran tetapi ia harus menyadarinya dalam dirinya sendiri atau ia tidak akan menemukannya

Jujur


Memecahkan patung Buddha

Di sebuah monastery Zen terdapat seorang master Zen dan seorang muridnya.
 Untuk mengajarkan kesunyataan, maka di depan murid, sang Guru mengangkat patung Buddha dari keramik dan kemudian menjatuhkannya hingga pecah.
 Murid terbengong sejenak dan kemudian merasa tercerahkan.
 Setelah peristiwa itu, si murid mohon diri untuk turun gunung. Sang Guru sedih dan hendak menahannya, tapi si murid bersikeras. Tak lama kemudian, sang guru meninggal dan ada peristiwa2 yang menunjukkan bahwa beliau telah menjadi Bodhisattva.

 Si murid mengajarkan hal itu kepada masyarakat desa di kaki gunung. Setiap ia menemukan pemilik rumah memiliki patung Buddha ia selalu membanting dan memecahkannya. Demikianlah seterusnya, penduduk2 desa itu mengajar ke desa-desa lain dimana orang2 semuanya mulai membanting dan memecahkan patung Buddha. Mereka berkata : patung is patung, buang ketahayulan!

 Sampai suatu ketika terjadi gempa bumi dahsyat dan semua dari mereka mati. Ternyata si murid dan mereka semua terlahir di neraka.

 Koan : Perbuatan yang sama, tapi terlahir di tempat yang berbeda. Mengapa???

 Hints:
 - Belajar Zen harus memahami esensinya, bukan sekedar meniru penampilan luarnya belaka.
 - Apa yang nampak diluarnya mungkin sama, tapi proses dalam batin adalah tanggung jawab masing2 pribadi.
 - Belajar memutuskan kemelekatan janganlah menjadi sebuah kemelekatan baru.

Tidak ada pengganti


 Seorang umat bertanya kepada guru zen.

 Umat : Bisakah anda membantu saya memahami arti Zen ?

 Guru : Aku sangat ingin membantu, tapi sekarang aku harus buang air kecil dulu.

 Guru beranjak dari tempat duduknya dan mendekati umat tersebut kemudian berkata dengan suara lirih.

 Guru : Coba pikirkan, bahkan untuk hal sepele seperti ini aku harus melakukannya sendiri. Boleh tanya, bisakah kamu melakukannya untukku

 Catatan
 Untuk memahami masalah hidup dan mati, seseorang harus mengandalkan dirinya sendiri. Orang lain tidak bisa melakukannya untukmu. Hanya Mengandalkan penjelasan dari orang lain adalah seperti burung kakak tua belajar bicara. Ia mengatakan apa yang diajarkan tapi tidak tahu arti dari kata kata tersebut.

Tersenyum walau itu berat dalam hidupmu


Quote: Alkisah Ada seorang Sanggha bernama Chi kung, ia sangat berbeda dengan sangha lainnya yang berlatih diri dan sebagainya, malah ia banyak sekali pelanggarannya seperti makan daging dan minum arak, selain itu ia memakai jubah biksu yang compang camping mirip seorang pengemis dari pada sangha, tidak seperti sangha lain yang diam di kuil dan bermeditasi, malahan ia turun ke jalan menolong umat Buddha dalam kesusahan.

 Suatu saat Chi kung melihat Sebuah toko dan sipemiliknya, Chi kung berlagak meminta sedekah kepada si pemilik toko tersebut, dia melihat si pemilik toko adalah seorang yang pengagum Buddha Maitreya atau Milefo atau Buddha Tertawa, Chi kung mendekati si pemilik toko " Amitabha, Bisakah Saya Meminta sedekah kepada anda ?", Si pemilik Toko dengan muka Termenyut dan terlihat Judes dan berkata Sinis dan berteriak " TIDAK ADA". Lalu Chi kung berpura -pura keluar dari toko tersebut sambil duduk dipingiran tokonya sambil pura- pura tidur. Si pemilik Toko merasa jengkel dan kesal melihat Tingkah laku Chi kung. Diacuhkannya, sampai kemudian Sore Si pemilik toko merasa Toko nya Sepi dan Dia selalu sembayang kepada Buddha Tertawa setiap waktunya agar tokonya ramai dan bisa dikunjungi , tapi ngak ada yang mau datang.

 Melihat Tingkah si Pemilik Toko, Chi kung Tertawa terbahak - bahak,
 Lalu si pemilik Toko merasa jengkel sama Tingkah Chi kung dan berkata " Kenapa Kamu ketawa", lalu Chi kung berkata " Gimana saya tidak bisa tertawa, melihat diri mu, Setiap waktu kamu selalu sembayang kepada Buddha Maitreya meminta rejeki, tapi kamu ngak pernah tau kesalahan kamu sendiri. Lihat lah diri mu itu Buddha maitreya saja Selalu Terseyum dan tertawa, bagaimanapun orang hendak mencaci maki dirinya, memujinya, bahkan orang mau berkata tentang dirinya baik buruknya, ia selalu tertawa, Ketika pengunjung toko datang ketempat mu dia melihat Buddha Tertawa maka ia bisa merasa Senang, Tapi pas melihat diri mu setiap kali memasang muka judes, kasar, tidak memperlihatkan wajah mu, dengan gembira, malahan bermuram Durja, bagaimana orang mau datang ke toko mu, kamu semestinya bisa belajar dari Buddha tertawa, Bagaimana pun diri mu, kamu harus tersenyum dan gembira, maka semua rejeki bisa datang kepada mu". Ketika si pemilik toko mendengarkan darmadesana dari Chi kung, Ia kaget, dan kemudian ia mencoba tersenyum dan berusaha menjadi ramah. Semenjak itu tokonya menjadi ramai pengunjung lagi.

Intinya adalah merasa diri bahagia walau itu berat didalam diri kita, hadapi Dengan Senyuman manis, dan merasa bahagia.

Kesadaran sejati.

Satu sifat melingkupi seluruh sifat dengan sempurna;
Satu Dharma mencakup semua Dharma;
Satu bulan muncul dalam semua permukaan air;
Bulan-bulan yang dipantulkan di atas permukaan air adalah satu.

Kebenaran tidak tegak, kepalsuan itu semula kosong.
Saat keberadaan dan bukan keberadaan disingkirkan, yang bukan kosong adalah kosong.
Dua puluh pintu kekosongon mengajarkan ketidakmelekatan.
Hakikat semua Tathagata adalah satu; keadaan mereka adalah sama.

Setelah mencapai tubuh Dharma, tiada apa-apa lagi;
Hakikat diri yang sejati adalah Buddha asal.
Panca skandha itu - datang dan perginya awan-awan terapung yang kosong;
Tiga racun itu - muncul dan lenyapnya gelembung-gelembung air yang hampa.

Saat yang sejati dialami, tidak ada orang ataupun Dharma.
Dalam sesaat karma avici dihancurkan sempurna.
Tidak ada kejahatan atau kebaikan, tidak ada yang hilang atau yang dicapai.
Jangan mencari sesuatu dalam hakikat Nirvana ini.

Siapa yang tidak memiliki pemikiran?
Siapa yang tidak memiliki kelahiran?
Jika yang tidak dilahirkan itu nyata,
maka tidak ada sesuatu yang tidak dilahirkan.

Letakkan empat unsur, jangan bergantung kepada apapun;
Dalam hakikat Nirvana ini, jangan terikat saat makan dan minum.
Seluruh fenomena adalah sementara; semuanya kosong.
Inilah pencerahan sempurna dari Sang Tathagata.

Inilah kendaraan sejati.
Orang yang menentang dikuasai oleh perasaan.
Langsung ke akar cahaya adalah ciri Buddha;
Tidak perlu mencari ranting atau memetik daun.

Mutiara mani tidak dikenal orang;
Engkau dapat menemukannya dalam Tathagata-garbha.
Fungsi enam indria kosong dan sekaligus tidak kosong,
Seberkas cahaya sempurna dengan bentuk tapi tanpa bentuk.

Sucikan lima mata untuk mencapai lima kekuatan.
Hanya setelah realisasi orang dapat memahami.
Untuk melihat bayangan dalam sebuah cermin tidaklah sulit.
Bagaimana orang dapat menggenggam bulan dalam air?

Harta yang tak ternilai memiliki manfaat yang tiada akhir;
Tiada keragu-raguan saat menolong yang lain.
Tiga tubuh dan empat kebijaksanaan lengkap di dalam intinya,
Delapan kebebasan dan enam kekuatan tubuh adalah ciri landasan batin.

Untuk orang-orang besar, satu penembusan mencapai segalanya;
Untuk yang sedang dan yang rendah, makin banyak yang mereka dengar, makin sedikit yang mereka percayai.
Engkau hanya perlu membuang pakaian kotor di dalam;
Tidak perlu memamerkan kecerdasanmu pada yang lain.

Mengerti sepenuhnya prinsip dasar dan ajaran,
Samadhi dan kebijaksanaan adalah sempurna dan jelas tidak berhenti dalam kekosongan.
Aku tidak hanya mencapai ini sekarang;
Inti para Buddha yang tidak terhitung banyaknya sebenarnya sama.

Tidak mencari yang sejati, tidak menolak yang palsu,
Menyadari bahwa keduanya adalah kosong dan tidak berbentuk.
Tidak ada bentuk, tidak ada kekosongan dan tidak ada bukan kekosongan;
Inilah ciri sejati Sang Tathagata.

Cermin batin memantul tanpa halangan;
Keluasan dan kemurniannya memancar menembus tak terhitung banyaknya dunia,
Fenomena yang bermacam-macam semua mewujud;
Bagi ia yang telah cerah sepenuhnya, tidak ada di dalam maupun di luar.

Ksatria besar memakai pedang kebijaksanaan;
Ujung mata pisau prajna ini bersinar seperti sebuah intan.
Ia tidak hanya menghancurkan pikiran dari jalan-jalan sebelah luar,
tetapi sejak lama membuat iblis-iblis surgawi melarikan diri.

Ia tidak aus dan tidak dapat disanjung
Unsur-unsurnya seperti ruang yang tidak terbatas.
Tanpa meninggalkan tempatnya berada, kebangkitan ini terus jernih.
Kalau mencari, engkau tahu ia tidak dapat ditemukan.
Ia tidak dapat digenggam, tidak juga dapat dibuang;
Ia dicapai hanya di dalam yang tidak dapat dicapai.

Pikiran adalah sebuah indria; Dharma adalah obyeknya;
Keduanya seperti bekas-bekas di cermin.
Saat debu disingkirkan, terang mulai datang.
Ketika pikiran maupun dharma dilupakan, inilah hakikat sejati.

Dengan pikiran jahat dan pengertian salah,
Orang tidak dapat menembus prinsip pencerahan seketika yang sempurna dari Sang Tathagata.
Banyak yang mengikuti ajaran, meskipun rajin, melupakan batin sejati.
Praktisi-praktisi jalan sebelah luar boleh jadi cerdas, namun mereka kurang memiliki kebijaksanaan.

Yang bodoh dan yang dungu berpikir
Bahwa kepala terpisah dari jari yang menunjuk.
Mengira telunjuk adalah bulan, mereka berlatih dengan sia-sia,
Cuma membangun khayalan-khayalan aneh dalam dunia indria dan obyek,
Tidak merasakan satu dharma pun: Inilah Sang Tathagata.
Hanya setelah ini orang dapat disebut Pengamat Tertinggi.

Memburu dua kelinci


Suatu hari di sebuah kuil, beberapa biksu sedang berlatih kungfu (bela diri dari Cina) di halaman kuil. Selesai latihan, seorang biksu mendatangi gurunya, dan bertanya, 'guru, saya ingin meningkatkan keahlian beladiri saya. Sambil belajar beladiri dengan guru, saya ingin belajar beladiri dengan guru lain juga. Bagaimana pendapat guru tentang ini?'

Sang guru hanya menjawab dengan sebuah kalimat, 'pemburu yang mengejar dua ekor kelinci secara bersamaan malah akan kehilangan keduanya'

Moral:
Mengejar dan mencari banyak ilmu dan pengetahuan adalah hal yang bagus dan malah dianjurkan. Namun kita juga harus menyadari batasan kemampuan kita. Apakah kita mampu menyerap secara maksimal dua atau lebih ilmu dan pengetahuan yang kita kejar secara bersamaan? Cobalah untuk fokus kepada satu pengetahuan dulu, ketika sudah menguasai baru fokus ke pengetahuan berikutnya. Hasilnya akan lebih maksimal, walaupun memakan waktu lebih lama.

ssssttt saya ga bicara apapun loh..


Suatu hari 4 orang praktisi zen yang bersahabat sedang berjalan bersama. Lalu salah satu dari mereka mengajukan ide untuk bermeditasi bersama, malam itu. Semuanya setuju. 'Tapi kita harus buat kesepakatan. Supaya meditasinya berjalan dan khidmat (khusyu), tidak boleh ada yang berbicara atau menimbulkan bunyi berisik apapun, setuju?'. Semuanya menyetujuinya.

Malam itu, seperti dijanjikan, mereka berkumpul di rumah salah satu praktisi untuk bermeditasi bersama, dengan ditemani sebatang lilin kecil.

Tiba2 angin kencang bertiup, dan memadamkan lilin kecil tersebut.

Praktisi 1: Oh tidak, lilinnya sudah mati tertiup angin....
Praktisi 2: sssstttt, bukannya kita dilarang berbicara apa2?
Praktisi 3: Mengapa kalian berdua melanggar kesepakatan kita?!?!?!
Praktisi 4: Hehehe, hanya saya yang tidak melanggar kesepakatan

Moral:
Betapa mudahnya kita 'menyoroti' kesalahan dan kelemahan orang lain, dan betapa sulitnya kita 'bercermin' kesalahan dan kelemahan diri kita sendiri. Bercermin tentang kesalahan dan kelemahan diri sendiri, adalah langkah pertama dalam proses pengembangan diri sendiri, menuju hasil yang lebih baik. Kalau langkah pertamanya saja sulit kita laksanakan, bagaimana kita mau gembar-gembor bahwa kita sedang 'berkembang' atau 'mengejar nilai kehidupan yang lebih baik' ???

Jalanlah maju tiga langkah, lalu mundur tiga langkah.


Seorang pria sedang berjalan-jalan di tengah kota. Ia melihat seorang biksu Zen yang sedang berjalan, meminta sumbangan untuk kuilnya. Karena tertarik, pria ini menghampiri biksu tersebut.

'Hai biksu, kau sedang meminta sumbangan bukan? Baiklah, aku tidak akan memberikan sumbangan, tapi akan kubeli kebijaksanaan darimu. Bukankah biksu Zen terkenal dengan kebijaksanaannya?', kata pria tersebut. Si biksu terdiam sejenak, lalu berkata, 'boleh, tapi kebijaksanaanku sangatlah mahal. Sebuah nasihatku bernilai 100 tael perak'. Pria tersebut menjawab, 'tidak masalah, asalkan terbukti kata-katamu dapat membuatku lebih bijaksana'.

Maka si biksu memberi pria itu kata2 ini: 'setiap kali anda menghadapi permasalahan apapun juga, jangan terburu-buru mengambil tindakan. Jalanlah maju tiga langkah, lalu mundur tiga langkah. Lakukan ini sebanyak 3 kali (3 set), baru ambil tindakan terhadap permasalahanmu'. Pria tersebut sulit untuk percaya, 'hanya berjalan 3 langkah maju dan 3 langkah mundur selama 3 kali dapat membuatku lebih bijaksana? Aku tidak percaya'. Si biksu tersenyum, 'kalau begitu anda tidak perlu membayarku sekarang. Tunggu sampai kata-kataku terbukti baru anda membayarku. Kalau tidak terbukti, anda tidak berhutang apa2 padaku'. Pria tersebut senang, 'baiklah kalau begitu. Aku akan membuktikan kata2mu. Kalau ternyata terbukti, aku akan mencarimu untuk membayarmu', kata pria itu, lalu pamit dan pulang kerumahnya.

Sampai di rumah, pria itu mencari istrinya untuk menceritakan kejadian hari ini kepada istrinya. Pria itu masuk ke kamar tidurnya. Ternyata istrinya sedang tidur, dan alangkah kagetnya pria itu karena ternyata disamping istrinya ada tubuh lain yang berbaring tertutup selimut. Emosi pria ini memuncak karena istrinya selingkuh, dengan tidur dengan pria lain. Ia segera pergi ke dapur untuk mengambil golok dapur, dengan tujuan membunuh pria selingkuhan istrinya.

Ketika kembali ke kamar tidur, tiba2 ia teringat dengan kata2 si biksu zen tadi. Maka ia pun berjalan 3 langkah maju, 3 langkah mundur, sebanyak 3 kali. Tentu saja dengan perasaan yang sangat tidak sabar. Karena gerakannya yang tergesa2 menimbulkan bunyi berisik, istrinya terbangun. Istrinya pun kaget karena ada tubuh lain berbaring di ranjangnya, sedangkan suaminya sedang berdiri di samping ranjang. Spontan istrinya membuka selimutnya. Ternyata tubuh itu adalah adik kandung istrinya sendiri yang bermimpi buruk sehingga ketakutan dan menyelinap ke ranjang kakak perempuannya untuk tidur bersama.

Seketika pria tersebut jatuh terduduk dengan lemas. Goloknya pun terlepas dari tangannya. Dengan menangis, ia menceritakan segalanya termasuk rencananya membunuh tubuh yang dikira selingkuhan istrinya tersebut. Katanya, 'kalau aku tidak bertemu dengan biksu bijaksana tersebut di kota, entah bagaimana nasibku dan kamu'. Istrinya menenangkan suaminya dan berkata, 'tenanglah, yang belum terjadi tidak perlu dipermasalahkan. Besok kita harus mencari biksu itu kembali untuk memenuhi janjimu, membayar kebijaksanaan yang kau dapat ini'.

Esok harinya mereka berdua pergi mencari biksu tersebut di tengah kota. Begitu menemukannya, mereka berniat membayar biksu tersebut, tapi si biksu menolaknya sambil tertawa, 'kalau kalian menghindari perbuatan jahat, perbanyak perbuatan baik, dan senantiasa mawas diri, artinya kalian sudah membayarku....'

Beban hidup


Suatu hari, seorang pemuda yang gagah namun penampilannya dekil dan bajunya compang-camping mendatangi guru Zen Wu Ji. Katanya, 'guru, saya datang dari jauh dan telah menempuh perjalanan yang sangat jauh dan berat. Saya kesepian, menderita dan sangat letih. Sepatu saya sudah sobek dan badan saya penuh luka. Ini semua saya lakukan demi mencari jawaban atas penderitaan saya. Kenapa saya belum menemukan cahaya petunjuk sedikit pun?'.

Sang guru Zen melihat pemuda ini membawa sebuah buntelan besar. 'apa isi buntelanmu itu?', tanya si guru. Jawab si pemuda, 'isinya sangat penting bagi saya. Di dalamnya ada barang2 yang mengingatkan saya pada setiap tangisan, ratapan, dan air mata saya. Benda2 ini menjadi penyemangat saya dalam menempuh perjalanan berat mencari jawaban ini'. 'Baik, sekarang ikutlah denganku', kata si guru Zen.

Mereka berjalan sebentar dan tiba di tepi sebuah sungai kecil. Di tepi sungai itu ada sebuah perahu sampan kecil. Si guru naik ke atas sampan tsb. 'naiklah', ajak si guru pada pemuda itu. Si pemudah itu pun naik ke atas sampan, dan mereka menyeberangi sungai tsb. Ketika sampai di seberang, mereka berdua turun dari sampan ke tepian. Kata si guru Zen, 'kita sudah sampai. Sekarang pikullah sampan ini, dan kita akan melanjutkan perjalanan kita'. Pemuda itu kaget dan protes, 'tapi sampan ini begitu berat, mana kuat saya memikulnya?'. 'benar sekali katamu itu. Ketika kita menyeberangi sungai, sampan ini sangat berguna dan besar artinya bagi kita. Namun ketika sudah siap meneruskan perjalanan kita berikutnya, sampan ini hanya akan menjadi beban saja. Kita harus meninggalkannya di tepi sungai, kalau tidak sampan ini hanya akan memberatkan langkah kita'.

'Begitu juga dengan kehidupan kita. Penderitaan, kesepian, kegagalan, tangisan, air mata, dan bencana, semuanya sangat berguna dalam kehidupan kita. Semua itu membuat kita tabah dan kuat menghadapi tantangan hidup di masa depan. Namun pada saat kita ingin melangkah maju, kalau kita tidak melepaskan hal2 tersebut, maka hal2 tersebut hanya akan menjadi beban langkah kita. Letakkanlah beban itu! Kehidupan akan menjadi lebih ringan.

'Sekarang letakkan tas mu di sini, dan mari kita melanjutkan perjalanan'. Si pemuda mengikuti perintah si guru, dan melanjutkan perjalanan. Beberapa jauh kemudian si guru menanyakan perasaan si pemuda ini. Jawab si pemuda, 'kini rasanya langkahku begitu ringan dan cepat. Aku baru sadar bahwa kehidupan sebenarnya bisa dijalani dengan begitu sederhana.....'

Moral:

Masa lalu tidak sama dengan masa kini dan masa depan. Masa lalu tidak terlalu penting. Yang penting adalah masa kini dan masa yang akan datang. Orang berhasil pasti pernah jatuh dan gagal dalam hidupnya, tetapi mereka tidak terus-terusan membawa beban itu di pundaknya. Jadikan masa lalu yang baik sebagai teladan, dan masa lalu yang buruk sebagai pelajaran. Namun jangan membawa-bawa masa lalu itu sendiri.

Jari telunjuk dan bulan

Suatu hari seorang biksu menemui Master Hui Neng (salah satu patriarch Zen di Cina) sambil membawa kitab Buddha. Katanya, 'guru saya tidak mengerti dengan sutra (ajaran Buddha) di halaman sekian'. Kata si guru, 'bacakanlah untukku'. Si biksu bertanya, 'bukankah guru seharusnya sudah hafal isi kitab ini di luar kepala? Jangan2 guru...'. Jawab Hui Neng, 'benar sekali muridku, aku buta huruf sejak kecil. Jadi tidak mungkin bagiku untuk hafal isi sebuah kitab'. Si biksu kaget dan marah, 'jadi selama ini aku diajarkan oleh orang yang tidak bisa membaca dan menulis? Percuma aku belajar Zen darimu, tidak ada gunanya!'.

Jawab Hui Neng dengan tenang, 'muridku, tenanglah. Kau tahu apa ini?', katanya sambil mengangkat telunjuknya. Jawab si murid, 'itu adalah jari telunjuk'. Hui Neng menunjuk bulan sambil bertanya, 'kalau itu apa?'. Jawab si murid, 'itu adalah bulan'.

'Kalau tidak kutunjuk dengan telunjukku, apakah kau bisa melihat bulan?'. Si murid bertambah bingung. Lanjut Hui Neng, 'telunjuk adalah kitab dan semua ajaran di dunia. Rembulan adalah kebenaran. Muridku, aku sudah bisa melihat rembulan tanpa bantuan telunjuk, bagaimana denganmu?'. Si murid pun tersadar dan memohon maaf.

Moral: Kebenaran ibarat rembulan yang bersinar terang, agama ibarat telunjuk yang menunjuk ke rembulan. Artinya semua agama itu sama, yaitu mengarah kepada kebenaran. Buddha Gautama pernah berkata, 'segenggam daun yang kupegang ini adalah dharma (ajaran kebenaran) yang kuajarkan, tetapi sesungguhnya dharma-dharma yang lain ibarat pasir di sungai Gangga yang tidak terhitung jumlahnya'. Artinya walaupun kita menerima suatu hal (termasuk agama) sebagai sesuatu yang benar, namun kebenaran yang sesungguhnya tidak terbatas pada hal tersebut. Masih banyak hal lain yang juga merupakan kebenaran pula. Dengan menyangkal atau tidak menerima hal ini berarti kita membatasi diri kita sendiri dalam memahami kebenaran yang universal dan sesungguhnya.