Sejak
kecil saya sangat tertarik tentang Tuhan,,, Dimana DIA berada? Seperti
apa? Dan sebagainya,,, Seiring waktu saya terus mendapatkan jawaban.
Jawabannya bervariasi dan banyak versi. Namun seiring waktu pula
jawaban-jawaban tersebut bukan hanya bervariasi tapi juga berubah,,,,
Ternyata
bukan hanya itu. Pertanyaannya semakin banyak dan kadang semakin
pusing sendiri,,,, Karena ketika saya tanyakan kepada orang lain mereka
juga tidak tahu malah jadi ikut-ikutan mumet,,, Bahkan pernah suatu
ketika saya dibilang “kebablasan”,,, Tidak usah ngomongin Tuhan!,,, Nah
lo, lha saya ini menyembah Tuhan ya harus tahu tho, siapa yang saya
sembah?
Kala malam ketika saya menatap langit dipenuhi
bintang dan sambil membayangkan betapa luasnya jadag raya ini saya
semakin bingung, mengapa saya di sini? Untuk apa? Nanti kemana?
Pamungkasnya ada pertanyaan TUHAN ITU DIMANA? Sebenarnya kalau dari
dogma-dogma ajaran agama sudah terjawab. Tapi saya merasa ada pesan
yang belum terungkapkan dibalik dogma-dogma tersebut. Saya terus
menelusurinya,,, baik ke luar diri maupun ke dalam diri.
Kali
ini saya memberanikan diri untuk menuliskan dan membagikan pemahaman
saya tentang Tuhan ke dalam note ini,,, Dan saya beri judul
MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI atau bila diterjemahkan KEBERSATUAN
MAKHLUK DENGAN TUHAN.
Saya memahami sekali resiko ketika
tulisan ini di buat, lha belum saya tulis aja beberapa waktu lalu udah
ada yang bilang saya sesat,,,, Padahal orang tersebut belum tahu apa
sih sebenarnya yang saya tulis ,,, Don’t judge the book by it’s
cover,,, Karena saya juga sengaja menuliskan judul tersebut agar lebih
menarik,,, Dan sekalian menuntaskan janji. Terus terang ada beberapa
sms dan pesan di inbox FB saya yang menanyakan tema yang saya jadikan
judul note ini. Saya udah janji akan saya tulis topik soal ini di FB.
Bagi teman-teman yang menyimak note ini, ikuti keseluruhan tulisannya
baru silahkan menyimpulkan,,,, Oke
Mari kita mulai masuk pada pembahasannya,,,
Ketika
membaca kalimat MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI maka biasanya akan
memunculkan satu nama di dalam pikiran kita yaitu,,, SYECH SITI JENAR.
Syech Siti Jenar atau Syech Lemah Abang dalam legenda Wali Sanga dikenal
sebagai penyebar agama islam yang kontroversial ajarannya. Syech Siti
Jenar dilabeli SESAT! Karena ia dituduh telah mengaku sebagai ALLAH,,,
Ia dituduh mengaku sebagai TUHAN !
Namun apakah benar demikian?,
Tunggu
dulu ,,, Sesungguhnya pemahamannya tidak seperti itu,,, Sebenarnya
kalau begitu kita-kita pun tanpa sadar telah mengaku sebagai ALLAH /
Tuhan Lho?! ,,,Ya!
Malah kita ini bisa jadi lebih “sesat” dibandingkan Syech Siti Jenar yang dilabeli sesat.
Mau bukti?
Berdasarkan
cerita, sebuah moment yang menjadikan Syech Siti Jenar disebut wali
sesat adalah ketika utusan dari kesultanan Demak mengundang Syech Siti
Jenar untuk “diinterogasi” mengenai ajaran-ajarannya yang “nyeleneh”
kepada para santrinya. Namun ketika dipanggil dari luar ruangan ada
suara yang menjawab dari tubuh Syech Siti Jenar yang kalimatnya : “Siti
Jenar tidak ada, yang ada Allah”,,, Saya dulu pun ketika masih SMP-SMA
memiliki mindset bahwa kalimat itu adalah sebuah pengakuan menyamakan
diri dengan Tuhan, padahal bukan itu maksudnya. Maksudnya adalah
manunggal, bukan menyamakan antara Tuhan dengan makhluk.
Saya ulangi, MANUNGGAL bukan berarti sama.
Tulisan
ini bukan hanya untuk mereka yang beragama islam. Hanya saja karena
saya beragama islam dan setting cerita Syech Siti Jenar adalah cerita
dalam konteks islam ijinkan saya membahasnya dari sudut pandang islam.
Begini saya contohkan,,, Ketika shalat, bukankah sangat bagus ketika
kita menghayati setiap bacaan ayat yang kita baca bukan?
Nah sekarang bayangkan jika kita membaca surat adz dzariat ayat 56-58 yang artinya berikut ini :
“Tidak
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah (mengesakan ibadahnya)
kepada-Ku, Aku tidak mengendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku
tidak mengendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku, Sesungguhnya
Allah Dialah Yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan Lagi Maha
Sangat Kuat”.
Pada ayat tersebut bisa kita lihat dalam
terjemahannya ada kata AKU,,, Nah, bila kita menghayati kalimat ini apa
yang terjadi? Ya sama saja sebenarnya kita “mengaku” sebagai Tuhan.
Coba kalau kita mengatakan AKU kemana asosiasi kata itu? Ya ke diri yang mengatakan tho?
Nah,
sebenarnya dalam hal ini Syech Siti Jenar lebih mulia dari kita karena
saat beliau mengatakan : “Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah”, saat
mengatakan itu ego atau ke-aku-an Syech Siti Jenar lenyap. Tahapan
beliau sudah sangat tinggi sehingga sudah bisa melihat esensi
sesungguhnya bahwa semua yang ada itu sebenarnya semu, yang MUTLAK ADA
HANYA ALLAH. Yang lain itu SEMU.
Justru yang sesat ya kita
ini, menyebut kata AKU yang artinya menunjuk kepada Tuhan tapi
ke-aku-an kita masih ada. So siapa sebenarnya yang mengaku sebagai
Tuhan?
Sekarang mari kita lihat fenomena saat Nabi
Muhammad menerima dan menyampaikan wahyu. Darimana ayat-ayat Al Qur’an
keluar? Kan dari lisannya dan jasad fisiknya Muhammad? Tapi mengapa
kita tidak mengatakan Muhammad mengaku sebagai Allah? Ya karena saat
ayat-ayat itu keluar ke-aku-an atau ego Muhammad tidak ada. Yang
berbicara adalah AKU-Nya Allah. So mari kita bandingkan. Saat membaca
surat Adz-dzariat di atas mana yang lebih pantas membacanya. Kita atau
Syech Siti Jenar? Hanya yang benar-benar total meniadakan diri dan
ke-aku-annya sajalah yang benar-benar pantas membaca ayat dalam surat
tersebut. Saat kita meniadakan aku-nya kita maka yang ada adalah
AKU-Nya Allah
Konsep Manunggaling Kawulo Lan Gusti memang
harus dipahami dengan jernih tidak boleh menyertakan ego dan
melepaskan doktrin di kepala kita. Bila tidak maka pembahasan tentang
hal ini hanya semakin mempertebal RASA PALING BENAR SENDIRI dan yang
terjadi adalah perdebatan yang semakin menjauhkan dari esensi. Padahal
dalam Al Qur’an Allah sudah banyak sekali memberikan sinyal. Allah Maha
Halus, Maha Meliputi segala sesuatu, Allah lebih dekat dari urat leher
dan masih banyak lagi. So, konsekuensinya ya MANUNGGAL.
Ketika
membahas tentang Tuhan,, MOHON SUDUT PANDANG KITA SEDIKIT DIPERLUAS,
karena sudah diperluas pun tetap saja belum bisa mewadahi hal yang
sebenarnya. Sehingga sebenarnya pertanyaan TUHAN ADA DIMANA? itu
sebenarnya pertanyaan yang kurang tepat. Karena kata DIMANA berarti
dalam ruang dan waktu. Padahal Tuhan itu bebas dari ruang dan waktu.
Bahkan dalam Hadits Qudsi ada sebuah statement yang artinya AKU (Allah)
adalah SANG WAKTU,,, Ya wajar saja jika Allah menyebutkan bahwa
diri-Nya lepas dari ruang dan waktu. Ingat, yang tidak bisa dibasahi ya
yang membasahi. Yang tidak bisa terbakar ya yang membakar. Yang tidak
lekang oleh waktu ya waktu itu sendiri.
Beberapa bulan
yang lalu (sudah lama sekali) saya katakan TUHAN ITU TIDAK DIMANAPUN,
TAPI ADA DIMANA-MANA. Kalimat itu sangat kontradiktif bukan? Tapi
memang demikian lah kenyataannya. Karena Tuhan Maha Meliputi segala
sesuatu ya demikian konsekuensinya. Nah tapi waktu itu status saya juga
menuai kontroversi. Ada salah seorang yang protes : “LHO BERARTI TUHAN
JUGA ADA DI WC? ITU KAN TEMPAT KOTOR?”,,, hmm, begini loh,,, Kembali,
dalam membahas manunggaling kawulo lan gusti cara pandang kita jangan
cara pandang sebagai manusia tunggal. Jangan dalam sudut pandang dunia 3
dimensi ini. Sekarang saya contohkan begini, di dalam TAHI dan TAHU
itu ada elektron enggak? Jelas ada.Tanpa membahas struktur molekul yang
membedakan, yang namanya elektron dimana-mana ya sama saja, elektron.
Mau
di dalam TAHU atau TAHI yo podo wae,,, Ketika sudut pandang kita dari
dunia material betul bahwa TAHU itu tidak menjijikkan dan TAHI itu
menjijikkan. Tapi di dunia yang lebih halus tidak demikian adanya. Nah
ingat kemanunggalan Tuhan itu jangan dilihat dari kacamata dunia
materi. Makanya saya katakan TUHAN TIDAK DIMANAPUN, TAPI ADA
DIMANA-MANA. Tuhan selalu terlibat dalam segenap proses hidup, termasuk
proses pembusukan di dalam septic tank. Bahkan Tuhan tidak segan
memberi hidayah di kompleks pelacuran. Kadang ego kita untuk memuliakan
Tuhan malah menjauhkan dari esensi kemuliaan itu sendiri.
Kemanunggalan
itu juga disinyalkan dengan penggunaan kata-kata subyek yang
bergonta-ganti di dalam Al Qur’an ketika Allah menyebut diri-Nya. Kadang
menggunakan AKU, kadang DIA dan kadang KAMI. Nah sebenarnya fenomena
di zona quantum semua itu sama saja alias satu subyek. Di zona quantum
kata DI SANA, DI SITU, DI SINI sama saja.
Memang ada beberapa
versi pemahaman tentang penggunakan kata ganti subyek AKU, KAMI dan DIA
dalam Al Qur’an. Ada yang mengatakan kata KAMI adalah sebagai kata
ganti kehormatan sebagaimana digunakan ketika berpidato dalam
acara-acara resmi. Saya pribadi sering mendengar orang berpidato yang
menyebut dirinya sendiri dengan kata kami. Ok, sampai di situ saya bisa
menerimanya. Tapi muncul pertanyaan lagi. Mengapa kalau memang begitu
maksudnya kok tidak semuanya saja menggunakan kata KAMI? Ada yang
pernah menjawab ketika saya membahas ini dengan kalimat ; “Ya suka-suka
Tuhan ya, mau pake kata AKU kek, DIA kek, KAMI kek itu bukan urusan
kita!”.O my god jadi ngajak debat kusir,,, hikz Saya bukan sedang
mempermasalahkan Tuhan bung. Saya berupaya untuk mengenal SIAPA YANG
SAYA SEMBAH.
Setelah menelusuri ke berbagai sumber dan
menyelami diri sendiri, dalam pemahaman saya penggunaan kata ganti
subyek yang berbeda-beda tersebut adalah sinyal tentang konsep
kemanunggalan kawulo lan gusti. Saya tidak menyimpulkan bahwa Tuhan
“berada” di zona quantum. Namun untuk memudahkan pemahaman agar kita
tidak terkotak dengan kerangka dunia 3 dimensi ini saya akan membahas
fenomena di zona quantum. Di zona quantum pembedaan arah tidak berarti.
Konsep DI SANA, DI SINI dan DI SITU semuanya ya sama saja, demikian
juga konsep INI dan ITU. Semuanya menjadi tidak berlaku.Sama pula
dengan konsep AKU, KAMI dan DIA. Di zona quantum ya semua kata ganti
itu akan menunjuk kepada SUBYEK yang sama. Oleh karenanya saya
mengulangi kalimat di bagian sebelumnya yaitu TIDAK DIMANAPUN TAPI
DIMANA-MANA.
Sederhananya kalo boleh saya ibaratkan jika
kita seorang diri berada dalam ruangan penuh potongan cermin yang
disusun seperti ubin baik di lantai dasar, dinding maupun
langit-langitnya, maka semuanya akan nampak “bayangan” diri kita.
Ketika kita menunjuk ke diri sendiri sambil mengatakan AKU, menunjuk ke
cermin sambil mengatakan DIA, sekaligus menunjuk kemana-mana sambil
mengatakan KAMI, ya semuanya adalah kita. Bedanya yang satu asli yang
lainnya hanya bayangan. Dengan demikian Tuhan bebas saja menggunakan
kata ganti subyek. Karena dzatnya MELIPUTI semuanya. Semisal anda
menerima gaji dari atasan anda saya bertanya, darimana rejeki itu?
Secara kasat mata itu memang dari atasan anda. Tapi pada tataran
hakikat rejeki yang anda terima itu ya dari Allah, dari Tuhan. Karena
dalam prosesnya Tuhan melibatkan ciptaan-Nya maka BELIAU menggunakan
kata ganti KAMI.Sampai tataran ini mungkin tidak akan menimbulkan
perdebatan.
Nah yang menjadi “mumet” adalah ketika pertanyaannya
bagaimana dengan IBLIS?Atau orang-orang jahat? Kalau Tuhan meliputi
semuanya berarti Tuhan ikut andil donk dalam kejahatan?Kalau Tuhan
manunggal dengan makhluk apakah Tuhan juga manunggal dengan orang-orang
yang korupsi?Masak Tuhan berbuat jahat?
Jika semua pertanyaan ini
muncul dalam benak kita maka kita kembali telah terjebak dalam
kacamata kita sebagai manusia. Kita kembali terjebak “melogika-kan”
Tuhan dengan frame kita. Sama saja kita mengatakan elektron pada TAHU
itu tidak najis dan elektron dalam TAHI itu najis. Hemmm,,,, bukankah
Tuhan juga tetap memberikan napas pada mereka yang sedang maksiat di
tempat pelacuran? Mohon renungkan ini friends,,,
Di
bagian ini saya akan membahas tentang zona quantum. Why? Karena di
bagian sebelumnya ada beberapa koment yang masih dalam frame dunia
material ketika memahami konsep manunggal.Akibatnya masih menggunakan
penalaran Tuhan berada di luar atau di dalam diri ya? Jawabannya DI
DALAM SEKALIGUS DI LUAR, mudah-mudahan gak bingung dengan jawaban saya
ini. Suka tidak suka ya begitu, karena Tuhan tidak berarah dan
berlokasi.Kalau berlokasi berarti berada dalam ruang dan waktu. Dan itu
bukan sifat Tuhan. Allah itu Maha Halus. Bahkan saking halusnya tidak
bisa dibayangkan oleh pikiran kita sebagai makhluk.
Nah di
zona halus itu apapun konsep yang ada dalam pikiran kita tidak berlaku
dan tidak bisa digunakan. Sebagaimana saya uraikan di bagian
sebelumnya Tuhan BUKAN berada di zona quantum. Ini untuk
menyederhanakan dunia yang sangat halus. Dunia yang sangat berbeda
dengan dunia yang kita persepsi dengan indera kita ini.Apa sih zona
quantum itu? Jika sebuah benda apapun kita pecah-pecah teruuuuus sampai
haluuuus maka akan ketemu yang namanya molekul. Kalo molekul itu
dipecah-pecah lagiiii akan ketemu yang namanya partikel yaitu proton,
elektron dan neutron. Kalau dipecah lagiii dan seterusnya yang kita
dapati adalah energy dan seterusnya dan seterusnya.
Nah
dalam ilmu fisika, hal-hal yang berada di balik sebuah materi itulah
dibahas dalam fisika quantum yaitu ilmu fisika yang membahas zona
halus. Nah di zona tersebut hampir semua konsep yang kita gunakan di
dunia material ini jungkir balik alias tidak berlaku. Di zona itu semua
hal menjadi satu. Arah di sini, di situ dan di sana tidak berlaku. Di
dalam dan di luar juga gak berlaku. Besok, nanti, tadi, kemarin juga
gak berlaku. Dan seterusnya dan seterusnya enggak berlaku.
Sulit dibayangkan kan?
Tentu,
lha wong kalimat saya ini juga belum mewakili kenyataan sesungguhnya
kok. Nah Allah Maha Halus. Bagaimana mungkin kita bisa menjangkaunya
dengan pikiran kita? Lho berarti gak ada gunanya tho membahas zona
quantum untuk memahami konsep manunggal?Ya jelas ada!Di zona quantum
semua hal di alam semesta itu MANUNGGAL. Di zona quantum semuanya SATU!
Anda, saya, hewan, angin dan semuanya adalah satu kesatuan alias
ONENESS. Sehingga ditingkatan hakikat ya benar konsep manunggaling
kawulo gusti itu. Nah yang jadi salah adalah ketika kita mengartikan
makhluk sama dengan Tuhan, mengartikan Tuhan ada di dalam diri kita,
itu salah kaprah. Semua hal itu ya dalam liputan dzat-Nya.
Lalu apa konsekuensinya?
Di
tingkatan hakikat sesungguhnya yang BENAR-BENAR ADA HANYA ALLAH.
Apapun yang kita lihat ini adalah SEMU. Sehingga bila seseorang sudah
sampai pada tataran menghilangkan ke-aku-annya, meniadakan dirinya maka
siapa lagi yang ada, YA JELAS ALLAH.
Jawaban yang sering
kita dengar adalah bahwa Tuhan itu di ada di langit, ada di arsy.
Meskipun kalimat itu ada di Al Qur’an dan Al Hadits, tapi kita harus
hati-hati memaknai kata LANGIT dan ARSY. Karena dengan mengatakan TUHAN
BERADA di bla... bla... bla... maka kita kembali TERJEBAK dalam konsep
RUANG WAKTU. Dan itu berarti kita tanpa sadar menyamakan Tuhan dengan
Dunia Material
Apa sih langit?
Secara umum banyak
yang menunjuk langit sebagai sesuatu yang berada di atas kepala kita.
Tapi itu sebenarnya juga keliru. Kalau kita menyadari bahwa bumi itu
bentuknya bulat bukankah di bawah kaki kita juga langit? Gak percaya?
Coba kita bor tanah di bawah kaki kita sampai nembus belahan bumi di
bagian sebaliknya, pasti akan melihat awan juga di sana, bahkan bulan
dan bintang jika di belahan bumi sana sedang malam hari. Makanya ada
penjelasan tentang arsy, bahwa singgasana-Nya Allah itu meliputi langit
dan bumi alias semuanya. Celakanya ada juga lho yang memahami
singgasana sebagai kursi besar seorang raja dan Tuhan duduk di atas
kursi itu. Parah kan?
Saya menulis note ini agar segala
konsep dalam kepala kita harus “dibuang”, atau kalau tidak digunakan
secara hati-hati ketika membahas tentang Tuhan. Segala perumpamaan yang
digunakan Tuhan dalam kitab suci adalah bahasa penyederhanaan saja dan
bukan realitas aslinya.
Apa yang bisa kita inderai adalah sesuatu
yang berada dalam ruang waktu. Segala sesuatu yang berada dalam ruang
waktu pasti tidak abadi dan rusak.
Langit itu sebuah
tempat, berlokasi bukan? Tuhan ada di langit? Wah saya kira itu harus
diluruskan jika pemahaman tentang langit adalah sebuah sebuah lokasi
yang bisa diinderai.
Saya berikan ilustrasi begini.
Jika
anda berada di dalam kamar berarti anda berada dalam sebuah ruangan.
Artinya anda lebih kecil dari ruangan itu. Apakah bisa disebut bahwa
anda meliputi ruangan? Ya gak bisa! Padahal Allah MELIPUTI semuanya,
masak berlokasi di sebuah TEMPAT? Lebih pusing lagi kalo ada yang
mengatakan manusia akan ketemu Tuhan di akhirat. Heiii,,,, Tuhan ada di
dalam akhirat atau akhirat itu ada dalam liputan dzat-Nya? Mari buka
keSADARan kita !!!!!
Sekali lagi ingat pembahasan kita di
bagian sebelumnya tentang zona quantum. Semua hal baik yang kita
ketahui maupun tidak itu MANUNGGAL dalam lingkupan dzatnya. Termasuk
manusia. Itulah sebabnya ada larangan untuk berpikir tentang dzat
Allah. Lha wajar saja lha wong pikiran kita gak bakalan nyampe.
Bagaimana mungkin YANG DILIPUTI bisa mempersepsikan YANG MELIPUTI
secara utuh?
Orang jawa ketika membahas tentang realitas Tuhan ini mengatakan :“
TAN KENO KINOYO NGOPO”.
Artinya, entah, embuh, gak tau. Susah untuk diungkapkan dengan kalimat
apapun. Memisahkan Tuhan dari makhluk bisa menyesatkan pemahaman.
Demikian pula jika menyamakan Tuhan dengan makhluk, jelas menyesatkan.
Dzat Allah itu beda dengan apapun yang kita kenal.
So,
dalam pemahaman saya konsep manunggaling kawulo lan gusti itu yo
kebenaran. Dengan catatan pemahaman konsep manunggalnya harus benar.
Bahkan kita mau tau atau tidak soal manunggaling kawulo lan gusti yo
semuanya memang manunggal kok! Semuanya itu ibarat udara yang sama hanya
saja terpisahkan oleh sekat ruangan.
Lalu mengapa dalam
cerita Syech Siti Jenar beliau dihukum atau dihakimi melakukan
kesalahan? Dalam penilaian saya adalah karena beliau mengajarkan
sesuatu pengetahuan yang sangat tinggi kepada orang-orang yang belum
nyampe tingkat pemahamannya. Akhirnya “njegleg” (gak kuat). Sebagaimana
kita ketahui apapun yang ada dalam benak kita tidak akan pernah
terwakili dengan kata-kata. Apalagi ketika membahas tentang Tuhan.
Jelas akan terjadi distorsi yang sangat fatal jika disampaikan kepada
mereka yang belum siap.
Beberapa kali saya membuat status
di facebook tentang DOUBLE SLIT EXPERIMENT (eksperimen dua celah) dari
Thomas Young. Why? Karena percobaan itu luar biasa! Percobaan fisika
tersebut membuktikan bahwa ada suatu titik dimana si pengamat akan
“menjadi satu” dengan elektron yang diamati. Sehingga konsepnya bukan
lagi pengamat, melainkan partisipan karena si pengamat ikut terlibat.
Dalam keadaan itu perilaku elektron sesuai dengan niat dari
pengamatnya. Jadi sebenarnya sangat jelas sekali tentang kebenaran
konsep manunggaling kawulo lan gusti. Ada suatu titik dimana akhirnya
“yang menyembah” MELEBUR dengan “yang disembah”. Tapi saya ingatkan
sekali lagi “yang menyembah” tidak sama dengan “yang disembah”.
Dalam
konteks double slit experiment dapat saya katakan sang pengamat dan
elektron tetap dua hal yang berbeda, tapi “menjadi satu” dalam
prosesnya.
Berkenaan dengan hal di atas, informasi di Al
Qur’an tentang TAKDIR akan menjadi membingungkan ketika kita tidak
memahami konsep kemanunggalan antara Tuhan dengan makhluk. Dalam Al
Qur’an disebutkan bahwa Allah “berkehendak atas segala sesuatu”.
Namun di ayat yang lain diinformasikan bahwa “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mengubahnya”.
Mana yang benar dari kedua pernyataan itu?
Saya
tegaskan jawabannya adalah BENAR DUA-DUANYA SEKALIGUS. Karena di sini
sebenarnya Allah menginformasikan fenomena yang sama persis dengan
DOUBLE SLIT EXPERIMENT itu. Kita adalah obyek sekaligus subyek. Terjadi
proses kreasi partisipatif sebagaimana yang terjadi antara si pengamat
dengan elektron. Nah di bagian akhir ini mungkin ada beberapa di
antara anda yang kesulitan memahami. Mengapa? Karena konsep dasar isi
dari bagian ini mengambil inti dari percobaan fisika Thomas Young. Hal
ini membuktikan apa? Bukti bahwa konsep manunggaling kawulo lan gusti
itu sangat ilmiah. Sebenarnya konsep manunggaling kawulo lan gusti
adalah ilmu fisika quantum versi jaman dulu (jadul) dengan bahasa
berbeda.
Lha saat ini saja ketika kita membicarakan soal fisika
quantum gak semua orang siap bukan? Nah saat itu Syech Siti jenar
menjelaskan “fisika quantum” kepada orang-orang yang belajar fisika
klasik pun belum pernah, yo jadinya salah kaprah.
Nah
demikian uraian saya tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti.
Banyak hal yang tidak saya uraikan di sini. Tapi saya berupaya
menuangkan inti-intinya. Saya tidak mengklaim bahwa tulisan ini adalah
sebuah kebenaran mutlak. Namun saya berharap dari tulisan ini kita tidak
lagi menghakimi bahwa konsep manunggaling kawulo lan gusti itu salah.
Kita lah yang telah salah memahaminya.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/-catatan-sang-durga-/mkg/500625606696285