Rabu, 24 Agustus 2011

Jari telunjuk dan bulan

Suatu hari seorang biksu menemui Master Hui Neng (salah satu patriarch Zen di Cina) sambil membawa kitab Buddha. Katanya, 'guru saya tidak mengerti dengan sutra (ajaran Buddha) di halaman sekian'. Kata si guru, 'bacakanlah untukku'. Si biksu bertanya, 'bukankah guru seharusnya sudah hafal isi kitab ini di luar kepala? Jangan2 guru...'. Jawab Hui Neng, 'benar sekali muridku, aku buta huruf sejak kecil. Jadi tidak mungkin bagiku untuk hafal isi sebuah kitab'. Si biksu kaget dan marah, 'jadi selama ini aku diajarkan oleh orang yang tidak bisa membaca dan menulis? Percuma aku belajar Zen darimu, tidak ada gunanya!'.

Jawab Hui Neng dengan tenang, 'muridku, tenanglah. Kau tahu apa ini?', katanya sambil mengangkat telunjuknya. Jawab si murid, 'itu adalah jari telunjuk'. Hui Neng menunjuk bulan sambil bertanya, 'kalau itu apa?'. Jawab si murid, 'itu adalah bulan'.

'Kalau tidak kutunjuk dengan telunjukku, apakah kau bisa melihat bulan?'. Si murid bertambah bingung. Lanjut Hui Neng, 'telunjuk adalah kitab dan semua ajaran di dunia. Rembulan adalah kebenaran. Muridku, aku sudah bisa melihat rembulan tanpa bantuan telunjuk, bagaimana denganmu?'. Si murid pun tersadar dan memohon maaf.

Moral: Kebenaran ibarat rembulan yang bersinar terang, agama ibarat telunjuk yang menunjuk ke rembulan. Artinya semua agama itu sama, yaitu mengarah kepada kebenaran. Buddha Gautama pernah berkata, 'segenggam daun yang kupegang ini adalah dharma (ajaran kebenaran) yang kuajarkan, tetapi sesungguhnya dharma-dharma yang lain ibarat pasir di sungai Gangga yang tidak terhitung jumlahnya'. Artinya walaupun kita menerima suatu hal (termasuk agama) sebagai sesuatu yang benar, namun kebenaran yang sesungguhnya tidak terbatas pada hal tersebut. Masih banyak hal lain yang juga merupakan kebenaran pula. Dengan menyangkal atau tidak menerima hal ini berarti kita membatasi diri kita sendiri dalam memahami kebenaran yang universal dan sesungguhnya.

2 komentar:

  1. Versi sebenarnya di naskah Buddhis seperti ini. JARI TELUNJUK DAN BULAN

    Kalimat " Ibarat Jari Telunjuk dan Bulan yang diujarkan oleh Master Hui Neng sesepuh ke 6 dari aliran Zen di China, saat Bhikhuni Wu Jin Cang menemuinya untuk bertanya tentang Mahaparinirvana Sutra yang belum juga dapat ia mengerti walaupun telah dipelajarinya selama bertahun-tahun.

    Bhikhuni Wu Jin Cang sangat terkejut saat mengetahui bahwa Master Hui Neng buta huruf adanya. Ia bertanya bagaimana sesepuh ke 6 tersebut dapat memahami kebenaran padahal ia tidak mampu membaca.

    Dibawah inilah kalimat yang sangat bijak dan mendalam tersebut dibabarkan oleh Master Hui Neng.

    Suatu hari seorang Bhikhuni menemui Master Hui Neng (salah satu patriarch Zen di Cina) sambil membawa kitab Buddha. Katanya, " Guru, saya tidak mengerti dengan sutra (ajaran Buddha) di halaman sekian."

    Lalu Master Hui Neng berkata, "Bacakanlah untukku."

    Si Bhikhuni bertanya, "Bukankah guru seharusnya sudah hafal isi kitab ini di luar kepala? Jangan-jangan guru..."

    Master Hui Neng menjawab, " Benar sekali muridku, aku buta huruf sejak kecil. Jadi tidak mungkin bagiku untuk menghafal isi sebuah kitab."

    Si Bhikhuni kaget dan marah, "Jadi selama ini aku diajarkan oleh orang yang tidak bisa membaca dan menulis? Percuma aku belajar Zen darimu, tidak ada gunanya.!"

    Master Hui Neng menjawabnya dengan tenang, "Muridku, tenanglah. Kau tahu apa ini?', katanya sambil mengangkat telunjuknya.

    Si murid menjawab, "Itu adalah jari telunjuk."

    Master Hui Neng menunjuk bulan sambil bertanya, "Kalau itu apa?"

    Jawab si murid, "Itu adalah bulan."

    Master Hui Neng berkata lagi, "Kalau tidak kutunjuk dengan telunjukku, apakah kau bisa melihat bulan?" Si murid bertambah bingung.

    Lanjut Hui Neng, "Telunjuk adalah kitab dan semua ajaran di dunia. Rembulan adalah kebenaran. Muridku, aku sudah bisa melihat rembulan tanpa bantuan telunjuk, bagaimana denganmu?"

    Si murid pun akhirnya tersadar dan memohon maaf. Sebenarnya kalimat yang diucapkan oleh Master Hui Neng ini sangat menarik dan memiliki makna yang sangat dalam.

    Telunjuk dapat diibaratkan sebagai kitab suci atau pun segala kata-kata dan tulisan yang kita dengar, baca atau pun kita lihat. Bulan adalah ibarat kebenaran itu sendiri.

    Jari dapat menunjuk bulan dapat kita maknakan sebagai kitab suci dapat menunjukkan arah kepada kebenaran. Tapi, jangan lalu kita bersandar pada keyakinan bahwa kitab suci adalah kebenaran itu sendiri. Kebenaran adalah kebenaran. Kitab suci adalah kitab suci. Kata-kata adalah kata-kata.

    Kefanatismean kita seringkali membawa kepada ketidakmajuan bahkan kemunduran batin. Apa yang kita pikir benar, mungkin karena kita dengar dari orang yang kita anggap pasti benar, menjadi sesuatu yang kita pegang erat tanpa coba kita renungkan dan buktikan.

    Jari memang dapat menunjuk bulan. Tapi bila mata kita sendiri yang salah melihat dan pikiran kita salah menafsirkan, jari menjadi kehilangan arti. Alih-alih menunjukan bulan kepada kita, bahkan langit indah yang penuh bintang pun mungkin tidak bisa kita lihat.

    Dan saat kebenaran sudah benar-benar dimengerti, maka kata-kata dan kitab suci sudah kehilangan arti. Kata-kata dan kitab suci sudah menyelesaikan tugasnya. Yang kita lihat hanya kebenaran itu sendiri, hanya bulan itu sendiri.

    Bahkan saat jari itu putus, seseorang yang sudah melihat kebenaran itu tidak membutuhkannya lagi. Ia sudah menikmati indahnya bulan.

    Hal ini seperti ibarat, Cangkir teh kita yang terisi penuh tentu tidak dapat diisi teh lagi bukan? Hanya pada saat kita mau menerima kenyataan bahwa “mungkin” ada teh yang lebih enak, baik dan sehat maka kita bersedia dengan suka cita untuk mengosongkan cangkir teh kita tersebut.

    BalasHapus
  2. [tambahan sedikit dari yang di atas]


    PERUMPAMAAN SEGENGGAM DAUN

    Suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di Kosambi, di hutan pohon Simsapa. Beliau menggenggam beberapa daun ditangannya dan bertanya kepada para Bhikkhu :

    "Bagaimana engkau akan menggambarkan hal ini, o para Bhikkhu, lebih banyak manakah daun yang kugenggam dengan daun dari pohon di hutan ini?".

    "Daun yang engkau genggam lebih sedikit, Yang Mulia, daun-daun yang berada di hutan ini lebih banyak"

    "Demikian jugalah, Bhikkhu, hal-hal yang kuketahui melalui pengetahuan langsung adalah lebih banyak; hal-hal yang telah kusampaikan kepadamu adalah lebih sedikit.

    Mengapa aku tidak menyampaikan semuanya kepadamu ? Karena hal itu tidak akan membawa manfaat, tidak membawa kemajuan bagi kehidupan suci, karena hal itu tidak akan membawa kepada lenyapnya nafsu, pemadaman, pengakhiran, ketenangan, pengetahuan langsung, pencerahan sejati, Nibbana. itulah sebabnya aku tidak menyampaikan semuanya.

    Dan apakah yang telah kusampaikan ? inilah penderitaan, inilah asal penderitaan, inilah akhir penderitaan, inilah jalan untuk melenyapkan penderitaan. Hal-hal inilah yang telah kusampaikan kepadamu.

    Mengapa aku telah menyampaikannya ? karena hal itu membawa manfaat dan kemajuan bagi kehidupan suci dan karena hal itu membawa kepada lenyapnya nafsu, pemadaman, pengakhiran, ketenangan, pengetahuan langsung, pencerahan sejati ke Nibbana.

    Maka, o para Bhikkhu, sadarilah tugasmu demikian : 'Inilah penderitaan, inilah asal penderitaan, inilah akhir penderitaan, dan inilah jalan menuju lenyapnya penderitaan .' "

    ( Samyutta nikaya 56 : 31 )

    BalasHapus