Minggu, 28 Agustus 2011

Cerita Zen - DIALOG PERDAGANGAN UNTUK MENGINAP


Asalkan memajukan dan memenangkan sebuah argumentasi tentang agama Buddha dengan orang-orang yang tinggal di sana, seorang bhikshu kelana boleh menginap di sebuah vihara Zen. Jika kalah, ia harus pergi dan melanjutkan perjalanan.

 Di sebuah vihara di belahan utara Jepang, tinggallah dua orang bhikshu. Yang lebih tua adalah seorang terpelajar, sedangkan yang lebih muda adalah orang bodoh dan hanya mempunyai sebuah mata.

 Seorang bhikshu datang dan memohon untuk menginap. Sebagaimana biasanya, ia menantang mereka untuk berdebat tentang ajaran yang tertinggi. Saudara yang lebih tua, karena keletihan belajar sepanjang hari itu, meminta saudara mudanya untuk menggantikannya. "Pergilah dan hadapi dialognya dengan tenang," ia memperingatkan.

 Demikianlah, bhikshu muda dan orang asing itu pergi ke altar dan duduk. Tidak lama kemudian, pendatang itu bangkit dan menghampiri saudara tua dan berkata, "Saudara muda anda adalah seorang yang mengagumkan. Ia mengalahkan aku." "Ceritakan dialog itu kepadaku," kata saudara yang tua.

 "Baiklah", jelas si pendatang, "Pertama-tama, saya mengacungkan sebuah jari, melambangkan Buddha, Ia yang mencapai Pencerahan. Ia pun mengacungkan dua jari, melambangkan Buddha beserta ajaran Beliau. Saya mengacungkan tiga jari, melambangkan Buddha, ajaran, dan pengikut Beliau, yang hidup dalam keharmonisan. Kemudian, ia melayangkan kepalan tinjunya ke wajah saya, menunjukkan bahwa ketiga-tiganya berasal dari kebijaksanaan. Demikianlah dia menang dan saya tidak berhak untuk menetap." Setelah itu, si pendatang pun pergi.

 "Kemanakah rekan itu?" tanya saudara muda, berlari menjumpai saudara tuanya.
 "Saya tahu anda memenangkan perdebatan tadi."
 "Menang apa! Saya ingin memukulnya."
 "Ceritakanlah tentang perdebatan tadi," pinta saudara tua itu.

 "Mengapa, begitu melihat saya, ia mengacungkan satu jari, menghina saya dengan menyindir bahwa saya hanya mempunyai sebuah mata. Oleh karena ia adalah pendatang, saya kira saya harus bertindak sopan terhadapnya, sehingga saya mengacungkan dua jari, bersyukur baginya karena mempunyai dua mata. Kemudian, bedebah yang tidak sopan itu mengacungkan tiga jari, menyiratkan bahwa di antara kita berdua hanya ada tiga bola mata. Oleh karenanya, saya marah dan mulai meninjunya, tetapi ia berlari keluar dan perdebatan itu pun berakhir."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar